LBH Riau Bongkar Keganjilan di Balik Sidang Vonis Dekan UNRI Syafri Harto
Hukum | 5 April 2022, 15:02 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Lembaga Bantuan Hukum Riau melihat sejumlah keganjilan dalam proses sidang putusan terhadap Dekan UNRI Syafri Harto atas dugaan pelecehan seksual.
Sebab dalam vonis bebas untuk Dekan UNRI Syafri Harto, majelis hakim yang tidak membuka akses bagi publik untuk mengikuti jalannya persidangan.
Padahal, dalam proses persidangan sebelumnya dilakukan secara terbuka dan digelar di ruang berkapasitas besar.
Demikian Kepala Operasional LBH Pekanbaru Rian Sibarani merespons vonis bebas terhadap terdakwa Dekan UNRI yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya, Selasa (5/4/2022).
“Pada saat pembacaan putusan, majelis memilih ruangan yang lebih kecil, lebih sempit,” kata Rian.
Baca Juga: Ini Respons Kemdikbud atas Dekan Unri yang Dinyatakan Tak Terbukti Melakukan Pelecehan Seksual
LBH Riau juga mempertanyakan kebijakan majelis hakim yang membatasi sejumlah kecil orang untuk mengikuti vonis sidang Dekan UNRI.
Ditambah lagi, proses persidangannya dilakukan secara online atau daring, berbeda dengan proses sidang-sidang sebelumnya yakni offline atau tatap muka.
“Awalnya persidangan dilakukan offline atau tatap muka, tapi saat pembacaan putusan dilakukan online, baik jaksa penuntut, terdakwa, penasihat hukum dilakukan terpisah, hanya majelis hakim lah yang ada persidangan,” ujarnya.
LBH Riau, sambung Rian, juga menangkap keanehan dalam persidangan vonis Dekan UNRI atas dugaan pelecehan seksual.
Sebab majelis hakim bukan hanya membatasi jumlah yang ikut sidang vonis Dekan UNRI, tapi juga tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat yang mengikuti proses kasus ini untuk memonitor secara online.
Sebagaimana diketahui, Dekan UNRI Syafri Harto divonis bebas dari kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya pada 30 Maret 2022.
Tiga dakwaan yang sebelumnya menjerat Dekan UNRI Syafri Harto dengan hukuman kurungan tiga tahun penjara, dinyatakan hakim tidak terbukti.
“Berdasarkan hal tersebut kami mencatat ada beberapa hal yang harus diperhatikan, karena putusan tersebut berdampak buruk bagi penanganan kekerasan seksual khususnya di dunia pendidikan,” ujarnya.
Sebab dalam putusannya, hakim tidak mempertimbangkan dampak psikis atau psikologis yang dialami oleh penyintas berdasarkan keterangan ahli dan psikolog.
Baca Juga: Komnas Perempuan soal Vonis Bebas Terdakwa Pencabulan: Kekerasan Seksual Memang Sulit Dibuktikan
LBH, lanjut Riau, juga menyayangkan argumentasi hakim yang mengkategorikan kekerasan dengan sebatas pukulan atau paksaan.
Padahal dalam hal ini, ada kekerasan psikis yang dialami korban akibat perbuatan yang diduga dilakukan Dekan UNRI Syafri Harto.
“Majelis hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi ahli psikis yang menerangkan bahwa telah terjadi kekerasan psikis terhadap penyintas,” kata Rian.
Ditambah lagi, sambung Rian, Hakim beragumen bahwa ketimpangan relasi kuasa tidak bisa dijadikan alasan adanya perbuatan ancaman kekerasan.
“Hakim dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan PerMA No 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum secara utuh,” ujarnya.
Baca Juga: Respons Vonis Terdakwa Pelecehan Seksual, Pakar Hukum: Hakim Perlu Paham Situasi Kesusilaan
“Majelis Hakim gagal memaknai maksud dan tujuan dari PerMA No 3 Tahun 2017,” tambahnya.
Harusnya, kata LHB, hakim dalam mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum secara utuh haruslah berhati-hati menganalisis.
Sehingga hakim tidak kaku dalam hal pembuktian dalam kasus kekerasan seksual.
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV