Panglima TNI Sebut Ada Anggota TNI Terlibat Proyek Satelit Kemhan yang Rugikan Negara Hampir Rp1 T
Hukum | 14 Januari 2022, 16:55 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyebut ada indikasi personel TNI terlibat dalam proyek satelit komunikasi pertahanan di Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Hal tersebut diketahui Jenderal Andika setelah dirinya dipanggil oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Baca Juga: Mahfud MD Beberkan Proyek Satelit Kemhan yang Rugikan Negara Hampir Rp1 Triliun
Dalam pertemuan itu, Jenderal Andika mengaku telah diberi tahu oleh Mahfud MD mengenai adanya dugaan keterlibatan anggota TNI itu.
“Beliau (Mahfud) menyampaikan bahwa proses hukum ini segera akan dimulai dan memang beliau menyebut ada indikasi awal, indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum,” kata Jenderal Andika di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (14/1/2022).
Sebagai Panglima TNI, Jenderal Andika mengaku mendukung keputusan pemerintah untuk melakukan proses hukum terhadap anggota TNI yang terlibat.
Namun demikian, Jenderal Andika mengaku masih menunggu nama-nama anggota TNI yang diduga terlibat dalam kasus proyek Satelit Kemhan tersebut.
Baca Juga: Panglima TNI Blak-blakan Dukung Kewenangan Jaksa Agung: Termasuk Pengadilan HAM, Kita Dukung All Out
“Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang memang masuk dalam kewenangan kami,” ucap dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membeberkan adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek satelit komunikasi pertahanan di Kementerian Pertahanan (Kemhan).
"Dugaan pelanggaran terkait proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) pada tahun 2015," kata Mahfud MD dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Mahfud menjelaskan, pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT), sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Baca Juga: Kronologi Bupati Abdul Gafur Mas'ud Ditangkap KPK, Jalan ke Mal Jaksel Bawa Uang Suap Rp1 Miliar
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit tersebut.
Apabila tidak dipenuhi, maka hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, kata Mahfud, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lalu memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Permintaan itu yakni mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Baca Juga: Panglima TNI Bantah Ada Tarik Menarik untuk Kursi Pangkostrad: Sama Sekali Tidak Ada
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater atau satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication Limited (Avanti) pada 6 Desember 2015.
Meskipun, lanjut dia, persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo itu baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016.
Namun, pihak Kemhan pada tanggal 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.
Lalu, pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).
Baca Juga: Panglima TNI Masih Pelajari Dugaan Korupsi Helikopter AW-101: Nanti Ada Saatnya Kita Umumkan
Namun, ternyata PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan tersebut.
Lalu, pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan ternyata belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," tuturnya.
Untuk membangun Satkomhan, kata Mahfud, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 juga belum tersedia.
Baca Juga: 3 Kapal Berbendera Vietnam Ditangkap TNI AL Karena Menangkap Ikan Secara Ilegal
Sedangkan di tahun 2016, anggaran telah tersedia, namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.
Kemudian, Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
"Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar," ujarnya.
Selain itu, kata Mahfud, pemerintah juga baru saja menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo. Putusan itu menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar USD20,9 juta.
Baca Juga: Jokowi Targetkan 57 Bendungan Rampung Dibangun hingga Akhir 2024
"Yang USD20 juta ini nilainya mencapai Rp304 miliar," ujarnya.
Mahfud pun memperkirakan, angka kerugian ini akan bertambah besar karena masih ada perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan dan belum mengajukan gugatan.
"Selain sudah kita dijatuhi putusan arbitrase di London dan Singapura tadi, negara juga berpotensi ditagih lagi oleh AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," kata Mahfud.
Penulis : Tito Dirhantoro Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV