> >

Banyak Siswa Terpapar Hoaks Vaksin, Praktisi Sebut Kurangnya Pendidikan Kritis di Sekolah

Agama | 6 Januari 2022, 12:48 WIB
Ilustrasi peserta didik yang sedang mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah menengah atas (SMA). Dalam survey PPIM 2021 yang diluncurkan Rabu (5/1) disebutkan, banya siswa tepapar hoaks vaksin dan covid-19 terkait agama. Praktisi bilang ada yang salah dengan sistem pendidikan kita (Sumber: Kompastv/Ant)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat dan praktisi pendidikan keragaman dari Yayasan Cahaya Guru, Muhammad Mukhlisin, menanggapi hasil riset dan survei nasional oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (PPIM UIN) terkait hoaks vaksinasi terkait agama yang menimpa siswa.

Menurutnya, pendidikan khususnya pendidikan keagamaan, harus mengembangkan kemampuan berpikir kritis murid.

Terutama pada saat pandemi seperti sekarang ini. Siswa diharapkan mampu menghindari hoaks terkait vaksinasi dan harus taat menjaga prokes. 

“Umumnya Pendidikan agama diajarkan secara dogmatis dan menganjurkan ketaatan peserta didik untuk menjadi pribadi yang saleh. Namun, saat ini, sangat penting mengajarkan keterampilan berpikir kritis dalam beragama. Banyak sekali hoaks berbasis agama yang tersebar di media sosial belakangan ini," paparnya kepada KOMPAS TV lewat Whatsapp, Kamis (6/1/2022).

Seperti diberitakan KOMPAS TV sebelumnya, survei yang diluncurkan PPIM UIN Jakarta pada Rabu (5/1) menimbulkan banyak keprihatinan terhadap siswa yang terkena hoaks Covid-19 dan vaksinasi terkait dengan agama.

Baca Juga: Survei PPIM UIN: 12,88 Persen Siswa Percaya Hoaks Vaksinasi Bertentangan dengan Agama

Survei yang dilakukan rentang 1 September-7 Oktober 2021 itu menyatakan bahwa sebanyak 12,88 persen responden siswa nasioal menyatakan bahwa vaksinasi bertentangan dengan ajaran agama.

Dalam survei itu juga disebutkan, sebanyak 39 persen siswa percaya bahwa Pandemi Covid-19 adalah hukuman dari Tuhan.

Selain itu, sekitar 48 persen responden memiliki sikap fatalis, atau percaya bahwa upaya manusia tidak banyak berarti karena segala sesuatu termasuk kesehatan sudah ditentukan oleh Tuhan.

Baca Juga: Ada Isu Anak Jadi Kelinci Percobaan Vaksinasi Covid-19, Satgas Sebut Hoaks dan Beber Faktanya 

Menurut pria yang membuat program Sekolah Guru Kebinekaan di pelbagai lembaga pendidikan di Indonesia ini, kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kompetensi yang dibutuhkan pada abad 21.

Kompetensi itu, kata Mukhlisin, adalah berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif. 

Selain itu, dia juga menekankan pentingnya pemerintah meberikan peningkatan kapasitas guru dalam membangun kapasitas berpikir kritis murid.

Hal tersebut, kata dia, bisa diselaraskan dengan program-program yang sudah ada, seperti program moderasi beragama di Kementerian Agama atau program-program lain di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

“Menurut pengalaman kami, guru mempunyai peran dominan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis murid. Oleh sebab itu, dukungan pemerintah untuk peningkatan kapasitas guru agama sangat penting,” tutup Manajer Program Yayasan Cahaya Guru tersebut.

Penulis : Dedik Priyanto Editor : Fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU