Komnas Perempuan Dorong Penerapan Restorative Justice dalam Kasus Istri Marahi Suami Mabuk
Hukum | 19 November 2021, 16:40 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mendorong aparat penegak hukum untuk melakukan restorative justice atau prinsip keadilan restoratif dalam kasus istri yang dituntut 1 tahun penjara karena marahi suami mabuk di Karawang, Jawa Barat.
Terlebih, saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong institusi seperti Kepolisian, Kejaksaan dan yang berurusan dengan hukum untuk melakukan dan menegakan restorastive justice.
Adapun menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, restorative justice perlu dilakukan dengan pendekatan sosial budaya. Artinya, satu permasalahan bisa diselesaikan di luar pengadilan dengan cara yang adil.
"Dalam perencanaan negara restorasi justice itu terus didorong oleh institusi seperti ini. Saya pikir harus segera diperlakukan seperti itu untuk kasus ini (istri yang dituntut 1 tahun penjara -red) sehingga tidak ada yang dirugikan lagi," kata Mariana Amiruddin dalam program Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Jumat (19/11/2021).
Lebih lanjut, Mariana juga menjelaskan bahwa dalam restorative justice selain mengedepankan pendekatan sosial budaya juga perlu menyediakan ruang dialog.
"Artinya bahwa pihak istri itu perlu memikirkan anak-anak juga, kalau ibunya mengalami hal seperti ini siapa yang akan mengurus anak-anak, siapa yang akan memenuhi kebutuhan anak-anak di rumah dan ayahnya pun seperti itu, jadi kalau cara pikir restorative justice itu seperti itu, dia menggunakan pendekatan sosial budaya," jelasnya.
Baca Juga: Komnas Perempuan: Valencya Tidak Bersalah, yang Bersalah Itu Suami yang Tidak Bertanggung Jawab
"Sehingga dia mendukung kasus itu menjadi kasus yang tidak perlu masuk ke dalam ruang pengadilan, tetapi bisa diselesaikan di luar pengadilan dan itu harus adil," imbuhnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Asep Iwan Iriawan mempertanyakan soal langkah yang diambil oleh Aparat Penegak Hukum (APH) di Karawang, Jawa Barat, soal kasus Valencya Lim, seorang istri yang dituntut 1 tahun penjara karena memarahi suami yang mabuk.
Menurutnya, persoalan rumah tangga ini seharusnya tidak sampai diperkarakan oleh kepolisian dan naik ke meja hijau. Bahkan, kata Asep, permasalahan ini justru dapat selesai ditataran Rukun Tetangga (RT) dan (RW).
"Ini harusnya persoalan yang bisa selesai di internal RT atau RW, kok bisa urusannya naik ke polda, ke kejaksaan tinggi, kejaksaan agung," kata Asep Iwan Iriawan.
Asep yang juga merupakan mantan hakim ini menjelaskan bahwa ada tahapan yang harus dilewati sebelum akhirnya kasus tersebut dapat menjadi perkara di meja hijau.
Pertama, harus ada laporan terlebih dahulu ke kepolisian dengan minimum dua alat bukti. Kedua, naik ke tahap penyelidikan untuk memastikan apakah ada unsur pidana atau tidak.
"Sebelum ke pengadilan kan, pertamanya di Polisi karena ada laporan. Nah, laporan itu minimum punya dua alat bukti. Lalu, mulai penyelidikan. Nah penyelidikan itu kan mencari pidana," kata Asep.
Kendati demikian, Asep menilai pada proses inilah seharusnya kasus ini sudah bisa diberhentikan dan tidak naik ke meja hijau. Sebab, menurutnya sikap istri memarahi suami lantaran sering mabuk bukan tindakan pidana.
"Nah, apakah ketika istri memarahi laki-lakinya pemabuk, penjudi, pemain perempuan itu pidana? Kan bukan. Seharusnya tidak jadi perkaranya," kata Asep.
Baca Juga: Soal Kasus Valencya, Komnas Perempuan: Ketidakmampuan Aparat Penegak Hukum Pahami UU PKDRT
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV