> >

Teluk Jakarta Terkontaminasi Parasetamol, Ini Keluh Kesah Nelayan di Muara Angke

Peristiwa | 5 Oktober 2021, 17:48 WIB
Pengepul dan nelayan kerang di Dermaga Muara Angke, Jakarta Utara, Selasa (5/10/2021). (Sumber: Kompas.tv/HASYA NINDITA)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Beberapa hari belakangan, publik diramaikan dengan ditemukannya pencemaran parasetamol di teluk di Jakarta, tepatnya di Muara Angke dan Sungai Cilincing, Ancol. 

Penemuan tersebut diungkap oleh penelitian yang dilakukan peneliti Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Zainal Arifin dan Wulan Koagouw. 

Dalam penelitian tersebut, ditemukan konsentrasi tinggi parasetamol di Angke yaitu 610 nanogram per liter, dan di Ancol sebanyak 420 nanogram per liter. 

Berdasarkan keterangan Zainal, kandungan pencemaran parasetamol yang ditemukan di Teluk Jakarta dapat memberi dampak buruk pada biota, yakni bagi sistem reproduksi kerang. 

"Ini menyebabkan potensi perubahan kerusakan sistem reproduksi pada jenis-jenis kerang, tidak pada ikan," kata Zainal kepada Kompas TV, Minggu (3/9/2021).

Ditemui tim Kompas.tv, nelayan kerang di Muara Angke, Agung (55), menceritakan keluh kesahnya sebagai nelayan yang sudah melaut di pesisir Jakarta sejak 20 tahun yang lalu.

Berdasarkan pengakuan Agung, pencemaran di Muara Angke sudah berlangsung bertahun-tahun dan tidak hanya berasal dari kontaminan parasetamol saja. 

Baca Juga: Pengakuan Nelayan di Muara Angke: Pencemaran di Laut Sudah Lama, Tidak Hanya Paracetamol

Ia menceritakan, pencemaran kebanyakan disebabkan oleh limbah industri dari pabrik-pabrik khususnya yang berlokasi di sekitar Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. 

"Pabrik di (Pantai Indah) Kapuk buat air jadi hijau. Kerang mati semua," kata Agung saat ditemui di Dermaga Muara Angke, Selasa (5/10/2021). 

Biasanya, kata dia, limbah berbau seperti air cucian, terkadang seperti bau sabun dan juga bau obat. 

"Baunya kayak cucian kain, bau sabun, (bau) obat," ucapnya.

Beberapa tahun yang lalu, contohnya, ketika ada pencemaran dari limbah pabrik, banyak biota laut yang mati sehingga menyebabkan tidak ada penjualan sama sekali. 

"Waktu ada limbah, sempat tutup, sebulan buka, (sebulan) tutup lagi. Pembeli tidak rutin jadinya. Biasanya pembeli ke lelang (penjualan kerang) itu bisa seratus, pas ada itu jadi paling 20 orang," lanjutnya. 

Baca Juga: Teluk Jakarta Terkontaminasi Paracetamol, Peneliti Minta DKI Perkuat Regulasi Limbah Industri

Sekali melaut, Agung dapat mengumpulkan sebanyak enam drum kerang dalam sekali melaut, jika sedang susah, setidaknya Agung dapat mengumpulkan sebanyak tiga drum kerang hijau. 

Ia biasanya berangkat saat hari masih subuh dan kembali sebelum siang hari. 

Selain menjadi nelayan kerang, Agung juga kerap menyelam untuk mencari rajungan atau kepiting. 

Ia mengatakan, meskipun tercemar limbah, ia akan tetap menyelam guna mencari kepiting yang dijual untuk keesokkan harinya. 

Jika kemudian limbah datang, kata Agung, maka keesokan harinya, ikan, kerang, dan biota laut lainnya ditemukan mati mengapung di laut. 

"Kita tetap nyelem biarpun ada limbah. Waktu saya nyelem juga limbah sering pas banget limbah datang. Besoknya sudah, ternak dan ikan mati semua," katanya. 

Baca Juga: Pemprov DKI Teliti Kontaminasi Paracetamol di Teluk Jakarta, Hasilnya 14 Hari Lagi

Namun, kata Agung, kualitas biota laut, semenjak pandemi Covid-19, justru mengalami peningkatan. Hal ini berkaitan dengan menurunnya aktivitas industri sehingga pencemaran juga berkurang. 

Meksipun kualitas mengalami peningkatan, harga penjualan tetap menurun. 

"Kualitas kerang sejak corona membaik memang, tapi harganya yang turun," ujarnya. 

Agung mengatakan, saat ini satu ember kerang dengan berat sekitar 15 kilogram hanya terjual Rp10.000 hingga Rp16.000. Padahal, sebelumnya satu ember kerang dengan berat yang sama dapat terjual dengan harga Rp26.000.

Terakhir kali satu ember kerang terjual dengan harga Rp26.000, tuturnya, saat bulan puasa sekitar April-Mei 2021. 

 

Penulis : Hasya Nindita Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU