Pengakuan Nelayan di Muara Angke: Pencemaran di Laut Sudah Lama, Tidak Hanya Paracetamol
Peristiwa | 5 Oktober 2021, 16:50 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Agung (55), nelayan kerang di Muara Angke sejak 20 tahun lalu menceritakan bahwa pencemar di teluk Jakarta tidak hanya dari kontaminan paracetamol.
Menurut pengakuannya, beberapa tahun yang lalu sempat ada limbah pencemar dari pabrik-pabrik di sekitar kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, yang menyebabkan penurunan penjualan.
Pencemaran pun, menurutnya, sudah berlangsung bertahun-tahun.
"Sekitar tiga tahun lalu memang sempat ada limbah pabrik, ada penurunan penjualan bahkan tidak ada yang beli," kata Agung saat ditemui di Dermaga Muara Angke, Selasa.
Namun begitu, Agung mengaku dia dan nelayan lainnya tetap melaut meskipun tidak ada pembeli.
"Ngelaut tetap aja, daripada nganggur," katanya.
Agung menceritakan, saat limbah pencemar menyebabkan biota laut mati, penjualan atau pelelangan kerang dibuka secara tidak menentu sehingga menyebabkan penjualan turun drastis.
"Waktu ada limbah, sempat tutup, sebulan buka, lalu tutup lagi. Pembeli tidak rutin jadinya. Biasanya ke lelang itu bisa seratus, pas ada itu jadi paling 20 orang," katanya.
Baca Juga: Teluk Jakarta Terkontaminasi Paracetamol, Peneliti Minta DKI Perkuat Regulasi Limbah Industri
Harga penjualan pun juga menurun. Jika sebelumnya satu ember kerang dengan berat sekitar 15 kilogram dapat dijual dengan harga Rp 26.000, saat itu satu ember hanya terjual Rp 10.000 hingga Rp 16.000.
Agung sendiri dapat mengumpulkan sebanyak enam drum kerang dalam sekali melaut, jika sedang susah, setidaknya Agung dapat mengumpulkan sebanyak 3 drum kerang hijau.
Hal yang sama juga diceritakan oleh Ayub (43) seorang pedagang kerang di Blok A Pasar Ikan Grosir Muara Angke, Jakarta Utara.
Berdasarkan ceritanya, beberapa tahun yang lalu ketika laut tercemar oleh limbah pabrik, kerang-kerang ditemukan mati sehingga tidak ada penjualan sama sekali.
"Saat itu tutup satu bulan, pembeli juga tidak ada karena lautnya tercemar," kata Ayub saat ditemui di Pasar Ikan Grosir Muara Angke, Selasa.
Baca Juga: Teluk Jakarta Terkontaminasi Paracetamol, Peneliti Bantah Ada Kaitannya dengan Budidaya Perikanan
Selain menjadi nelayan kerang, Agung juga kerap menyelam untuk mencari rajungan atau kepiting.
Ia mengatakan, meskipun tercemar limbah, ia akan tetap menyelam guna mencari kepiting yang dijual untuk keesokkan harinya.
Jika kemudian limbah datang, kata Agung, maka keesekon harinya ikan, kerang, dan biota laut lainnya ditemukan mati mengapung di laut.
"Kita tetap nyelem. Biarpun ada limbah. Waktu saya nyelem juga limbah sering pas banget limbah datang. Besoknya udah, ternak dan ikan mati semua," katanya.
Biasanya, kata dia, limbah berbau seperti air cucian, terkadang seperti bau sabun dan juga bau obat.
"Baunya kayak cucian kain, bau sabun, (bau) obat," ucapnya.
Baca Juga: Pemprov DKI Teliti Kontaminasi Paracetamol di Teluk Jakarta, Hasilnya 14 Hari Lagi
Sebelumnya, ramai diperbincangkan soal kontaminan paracetamol di teluk Jakarta yang diketahui berdasarkan hasil penelitian dari Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Penelitian tersebut menemukan kandungan tinggi paracetamol sebesar 610 nanogram per liter di Angke dan di Ancol mencapai 420 nanogram per liter.
Dalam penelitian itu disebutkan secara teori sumber sisa paracetamol yang ada di perairan Teluk Jakarta dapat berasal dari konsumsi masyarakat yang berlebihan, rumah sakit dan industri farmasi.
Tingginya angka penduduk di Jakarta dan bebasnya peredaran obat yang dijual tanpa resep dokter dapat berpotensi menjadi sumber kontaminan.
Namun, berdasarkan pengakuan para nelayan dan pengepul kerang, laut di Jakarta tidak hanya terkontaminasi paracetamol, namun juga banyak pencemar lain dari limbah hasil industri.
Baca Juga: Ada Kandungan Paracetamol di Teluk Jakarta, Peneliti BRIN Sebut Orang Jakarta Banyakan Pusing
Penulis : Hasya Nindita Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV