Google Rayakan Hari Lahir Sang Legenda Batik Indonesia Lewat Doodle Art, Siapa Go Tik Swan?
Sosok | 11 Mei 2021, 14:33 WIBSOLO, KOMPAS.TV - Google merayakan hari kelahiran sang legenda Batik Indonesia asal Solo, Go Tik Swan (GTS) atau K.R.T. Hardjonagoro dengan menghadirkan Doodle Art di laman utama mesin pencariannya.
Pada Doodle Art tersebut pria kelahiran 11 Mei 1931 ini berdiri tegak mengenakan busana abdi dalem khas Keraton Kasunanan Surakarta. GTS dikenal sebagai legenda batik asal Solo, beberapa karyanya memadukan motif dan teknik pewarnaan gaya klasik dengan gaya pesisir.
Beberapa motif legendarisnya, yaitu Sawunggaling, Rengga Puspita, Kembang Bangah, dan Kuntul Nglayang. Bahkan, motif Sawunggaling karya GTS diakui sebagai satu karya yang wajib dimiliki oleh para pencinta seni pewarnaan kain dengan lilin panas ini.
Baca Juga: Realme Gandeng Seniman Grafis Grafflex Bikin Smartwatch Bergaya Pop Culture
Awal mula GTS jatuh hati pada Batik
Lahir sebagai anak sulung dari Ibu seorang putri pengusaha Batik di Solo, lantas tidak membuatnya langsung jatuh hati. Diketahui, titik balik GTS sebagai pembatik berawal dari perjumpaannya dengan Presiden Soekarno pada acara Dies Natalis Universitas Indonesia ke-5 tahun 1955. GTS yang merupakan lelaki keturunan Tionghoa amat mahir dan halus membawakan tarian Jawa, Gambir Anom di Istana Negara.
Ibunya, Tjan Ging Nio sementara Ayahnya, Go Dhiam Ik, adalah pengusaha beragam bidang yang juga menjadi orang kepercayaan Belanda dengan jabatan Luitenant der Chinezen van Boyolali, yang memiliki hak monopoli perdagangan garam.
Saat GTS tampil di istana, Soekarno terpesona akan penampilannya. Bagi Soekarno, satu peristiwa langka seorang Tionghoa dapat sempurna menari Jawa Klasik. Lahir dari keluarga pengusaha batik di Solo, kemudian Soekarno menawarkan kepada GTS untuk merancang satu desain batik tentang idealisme persatuan. Berupaya menggabungkan karakter batik dari Solo, Jogja, hingga pesisiran GTS akhirnya menyanggupi permintaan dari Soekarno. Karya itulah kemudian yang menjadi cikal bakal GTS berkiprah di dunia Batik Indonesia.
Baca Juga: Peringati Hari Tari Sedunia, TMII Akan Gelar 46 Karya Seni Secara Virtual
Kecintaannya terhadap batik kemudian tumbuh, anggapan batik hanya sebagai urusan bisnis kemudian sirna. Hal tersebut berkat dari pencarian untuk mewujudkan permintaan 'Batik Indonesia' yang diminta Soekarno. Sebelum membuat, GTS lebih dulu melakukan laku spiritual seperti ziarah dan meditasi berkeliling dari satu sentra batik ke sentra batik lainnya di Pulau Jawa. Hingga kemudian, lahirlah wastra yang diberi nama 'Parang Bima Kurda'. Kurda bermakna tindakan, sedangkan Bima adalah karakter wayang idola presiden pertama Indonesia.
Dalam 'Parang Bima Kurda', GTW menggunakan teknik pewarnaan yang monokrom. Memadukan multiwarna khas pesisir yang cerah dengan memadukan motif corak klasik keraton Solo dan Yogya, lalu Pekalongan, Tuban, Lasem, Cirebon, Madura, hingga tenun Bali.
GTS pun banyak belajar dari ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka. Bahkan, kecintaannya pada Batik hanyalah satu wujud dari kecintaannya terhadap kebudayaan Jawa yang amat kaya. Bahkan, wujud lain dilakukan oleh GTS dengan beralih status dari mahasiswa Ekonomi menjadi mahasiswa Sastra Jawa di Universitas Indonesia.
Prestasi Go Tik Swan
Selain dikenal dengan karya Batik Indonesia-nya, GTS juga dikenal sebagai pemilik dari Motif Sawunggaling yang terinspirasi dari tradisi sabung ayam di Bali. Ritual tersebut biasa dilakukan pada awal masa tanam yang dipercaya tetesan darah ayam akan memberikan kesuburan pada bumi. Karyanya yang legendaris dan premium seolah hanya kolektor seni dan pencinta batik saja yang dapat memilikinya. Hingga kini, produksi wastra Sawunggaling masih terus dilakukan karena masih banyaknya permintaan, per lembar wastra ini dijual mulai dari Rp700 ribu hingga Rp7 juta.
Baca Juga: Siaga SAR Lebaran 2021, Basarnas Yogyakarta Lakukan Patroli Darat Hingga Patroli Laut
Menilik prestasi GTS, tak bisa lepas dari kehebatan dirinya sebagai orang Tionghoa pertama yang menerima anugerah derajat tertinggi di Keraton Kasunanan Surakarta. GTS mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung dan disebut sebagai Panembahan Hardjonagoro. Selain itu, ada banyak prestasi yang sudah di raih GTS, yakni penghargaan Bintang Bhakti Budaya (1993), Anugerah Satya Lencana Kebudayaan (2001), dan Tangda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma (2011).
Kini GTS abadi di peristirahatan terakhirnya di pemakaman desa tepi kota Solo. Sempat ditawarkan untuk dimakamkan di Makam Raja-Raja Imogiri, Yogyakarta GTS yang berpulang pada 6 November 2008 ini memilih untuk menjadi rakyat biasa ketika kembali pada haribaan Sang Pencipta.
Baca Juga: Pameran "Jamuan Kenegaraan Keraton Yogyakarta" Tetap Buka Selama Ramadan
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV