Google Rayakan Hari Lahir Sang Legenda Batik Indonesia Lewat Doodle Art, Siapa Go Tik Swan?
Sosok | 11 Mei 2021, 14:33 WIBDalam 'Parang Bima Kurda', GTW menggunakan teknik pewarnaan yang monokrom. Memadukan multiwarna khas pesisir yang cerah dengan memadukan motif corak klasik keraton Solo dan Yogya, lalu Pekalongan, Tuban, Lasem, Cirebon, Madura, hingga tenun Bali.
GTS pun banyak belajar dari ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka. Bahkan, kecintaannya pada Batik hanyalah satu wujud dari kecintaannya terhadap kebudayaan Jawa yang amat kaya. Bahkan, wujud lain dilakukan oleh GTS dengan beralih status dari mahasiswa Ekonomi menjadi mahasiswa Sastra Jawa di Universitas Indonesia.
Prestasi Go Tik Swan
Selain dikenal dengan karya Batik Indonesia-nya, GTS juga dikenal sebagai pemilik dari Motif Sawunggaling yang terinspirasi dari tradisi sabung ayam di Bali. Ritual tersebut biasa dilakukan pada awal masa tanam yang dipercaya tetesan darah ayam akan memberikan kesuburan pada bumi. Karyanya yang legendaris dan premium seolah hanya kolektor seni dan pencinta batik saja yang dapat memilikinya. Hingga kini, produksi wastra Sawunggaling masih terus dilakukan karena masih banyaknya permintaan, per lembar wastra ini dijual mulai dari Rp700 ribu hingga Rp7 juta.
Baca Juga: Siaga SAR Lebaran 2021, Basarnas Yogyakarta Lakukan Patroli Darat Hingga Patroli Laut
Menilik prestasi GTS, tak bisa lepas dari kehebatan dirinya sebagai orang Tionghoa pertama yang menerima anugerah derajat tertinggi di Keraton Kasunanan Surakarta. GTS mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung dan disebut sebagai Panembahan Hardjonagoro. Selain itu, ada banyak prestasi yang sudah di raih GTS, yakni penghargaan Bintang Bhakti Budaya (1993), Anugerah Satya Lencana Kebudayaan (2001), dan Tangda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma (2011).
Kini GTS abadi di peristirahatan terakhirnya di pemakaman desa tepi kota Solo. Sempat ditawarkan untuk dimakamkan di Makam Raja-Raja Imogiri, Yogyakarta GTS yang berpulang pada 6 November 2008 ini memilih untuk menjadi rakyat biasa ketika kembali pada haribaan Sang Pencipta.
Baca Juga: Pameran "Jamuan Kenegaraan Keraton Yogyakarta" Tetap Buka Selama Ramadan
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV