> >

Salah Ketik UU Cipta Kerja Dinilai Ugal-ugalan, Istana Sebut Hanya Masalah Administasi

Politik | 4 November 2020, 05:05 WIB
Undang-Undang Cipta Kerja disahkan oleh Presiden Joko Widodo. (Sumber: Setneg.go.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangai undang-undang atau UU Cipta Kerja dan resmi diundangkan dengan Nomor 11 Tahun 2020.

Namun UU tersebut rupanya mengandung kesalahan ketik di sejumlah pasal.

Baca Juga: UU Cipta Kerja yang Sudah Diteken Jokowi Ternyata Masih Bermasalah, Ini Buktinya

Pasal 6

Mengutip Kompas.com, Selasa (3/11/2020), ditemukan kesalahan ketik yang cukup fatal pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.

Pasal 6 menyebutkan, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.

Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.

Pasal 5 hanya berbunyi, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Salah Ketik, Anggota DPR Curiga Ada Pihak yang Memperkeruh Keadaan

Tangkapan layar UU Cipta Kerja (Sumber: Twitter/@Abaaah)

Pasal 175

Kemudian, ada pula kesalahan ketik dalam Pasal 175 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja.

Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014.

Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sah keputusan pemerintahan.

Ayat (1) berbunyi, batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Ayat (2), jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Ayat (3), dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang.

Ayat (4), apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

Ayat (5), ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4). Bukan pada ayat (3) sebagaimana yang ditulis dalam UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Ada Salah Ketik Fatal UU Cipta Kerja, Pengamat: Makin Jelas Ugal-ugalan

Dinilai Ugal-ugalan

Pengamat Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyoroti adanya kesalahan penulisan dalam omnibus law UU Cipta Kerja tersebut.

Menurut dia, jika kesalahan undang-undang tersebut mau diubah, maka prosesnya tidak bisa sembarangan.

Lebih lanjut, Bivitri menuturkan, pemerintah perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memberikan kepastian hukum agar pasal-pasal tersebut bisa dilaksanakan.

"Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu. Karena UU ini tidak bisa diubah begitu saja," kata Bivitri saat dihubungi, Selasa (3/11/2020), sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Ia pun menilai bahwa kesalahan penulisan dalam UU Cipta Kerja semakin memperjelas proses pembahasan dan pembentukannya yang ugal-ugalan.

Bivitri mengatakan, makna pembuatan undang-undang dikerdilkan hanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu.

"Makin tampak ke publik bagaimana buruknya proses ugal-ugalan seperti ini. Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya," kata Bivitri.

"Itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan. Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara," sambungnya.

Baca Juga: Istana: Salah Ketik UU Cipta Kerja Bersifat Teknis Administratif, Tak Berpengaruh Implementasi

Respons Istana

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno angkat bicara menanggapi adanya salah ketik dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Menurut dia, kekeliruan pengetikan pada UU Cipta Kerja hanya sebatas permasalahan administrasi.

Ia memastikan bahwa kesalahan pengetikan itu tidak memengaruhi implementasi UU Cipta Kerja.

"Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," kata Pratikno dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020), dikutip dari Kompas.com.

Ia menuturkan, sedianya setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR, Kementerian Sekretariat Negara telah melakukan peninjauan dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis.

Kementerian Sekretariat Negara juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya.

"Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi," lanjut dia.

Baca Juga: Presiden KSPI Sampaikan Isi Gugatan Uji Materiil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi

 

Penulis : fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU