Untaian Puisi Edelweis
Sosial | 10 Juni 2020, 17:34 WIBJakarta, 19 Maret 2014
Aku ingin pergi
Keluar dari hutan belantara
Menuju angkasa raya
Aku ingin bebas
Dari cengkraman elang
Yang hendak memangsaku
Pergi !!! Pergi kalian !!!
Kalian hanya iblis-iblis
Yang telah membelengguku
Dengan rantai-rantai neraka
Musnah dan hancur
Bintang-bintang yang ingin ku gapai
Tolong aku
Wahai malaikat kecil
Turunlah dari surga
Pancarkanlah kembali
Sinar bintang yang telah redup
Menjadi taman langit
Yang penuh dengan gemerlap cahaya harapan
Rasa sesak di dadaku semakin membuncah. Entah apa yang aku rasa sekarang. Semua terasa kelu, tak bisa dideskripsikan dengan kata - kata. Kunikmati monas yang bersinar dari kejauhan sebelum aku meninggalkan Jakarta. Pemandangan lampu - lampu di malam hari selalu menjadi candu tersendiri untuk ditatap berlama - lama.
Edel, kamu sudah sampai dari tadi? Suara Aidan membuyarkan lamunanku. Aidan, sahabatku dan Devo. Sekaligus penengah antara aku dan juga Devo. Sosok yang selalu menyemangati ku untuk meraih impian di kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Helloooo Edel masih melamun? Lagi - lagi suara Aidan mengagetkan ku. Mana sini tas kamu kereta nya sebentar lagi datang.
Aku dan Aidan memasuki kereta dan membantu menaruh barang - barang ku. Entahlah, aku selalu tersentuh dengan perhatiannya. Edel, are you ok? Maksudku dengan perpisahan kamu dengan Devo. Aku gak pernah menyangka kalau kamu sama Devo pada akhirnya putus. Walaupun kejadiannya udah lama, aku merasa kamu gak pernah benar - benar merasa baik - baik saja.
Vo...hmmm..gimana ya? Aku rasa gak ada perpisahan yang baik - baik aja. Ya kalau bisa aku juga gak mau putus sama Devo. Tapi semua keputusan pasti ada konsekuensi nya. Mungkin aku terlihat egois. Tapi satu hal yang perlu kamu tau, aku gak pernah menyesali keputusan yang telah aku ambil.
Meskipun aku harus memungut kepingan hati yang hancur satu persatu. Dan bisakah kita tidak membahas Devo malam ini? Aku rasa banyak topik seru yang bisa kita bicarakan. Hahahahaha,,,baiklah Edelweis Adria Wijaya. Selalu menyenangkan berbicara dengan Aidan. Ya walaupun selalu ada Devo di antara kami.
Solo, 14 Maret 2012
Bulir - bulir air mata ku jatuh tak terelakkan lagi. Pertengkaran aku dan Devo tak terhindarkan. Masih terngiang kata-kata yang Devo lontarkan kepadaku. Kamu masih ingin ke Jakarta Del? Apa sih yang mau kamu cari di sana? Mimpi? Cita-cita? Omong kosong lah. Mewujudkan cita-cita gak perlu harus pergi ke Jakarta. Di sini juga bisa. Kalau kamu tetap pergi ke Jakarta kamu lupain aja tentang mimpi kita.
Ego memang bisa merubah karakter seseorang. Dua insan yang saling mengenal akan tampak asing satu dengan yang lain bila ego telah menjajah rasa.
Solo, 15 Maret 2012
Di ujung kisah ini
Kutitipkan sebuah akhir cerita
Mungkin tak sesuai inginmu
Tak tergapai juga oleh nalarku
Kau tau?
Setelah akhir pasti ada awal yang baru
Awal yang indah untuk kisahmu dan juga ceritaku
Meskipun kita tidak lagi berada di buku yang sama
Devo menyimpan kembali surat yang dititipkan Edel kepada ibunya. Sore ini mungkin Edel telah menginjakkan kakinya di tempat yang telah ia taruh harapan besar untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Edel telah mengambil keputusan untuk melanjutkan ceritanya sendiri. Aku juga harus menulis ceritaku yang baru. Memulai sebuah awal yang entah aku juga tak tau akan bermuara kemana.
Solo, 20 Maret 2014
Jiwa-jiwa ku melayang
Terbang menuju singgasana istana
Asa ku yang telah hilang oleh kabut malam
Telah terhapus oleh warna warni cahaya pelangi
Ku pijakkan kaki di kota yang sangat kucintai. Udara pagi minim polusi, suasana hening tanpa suara klakson yang saut-sautan. Ya ini surga dunia untuk ku setelah aku merantau. Del, kamu udah tau alamat nya? Udah kok, ibu nya Devo uda kirim alamatnya. Kita naik taksi aja kalau gitu.
Kepulangan ku kali ini memang untuk Devo. Melepas semua rasa yang terasa sesak. Aidan bangun uda sampai nih, malah molor lagi nih anak. Uda sampai Del? Bener gak alamatnya? cecarnya. Iya bener ayok turun. Aku menghampiri bapak penjaga menanyakan tempat Devo. Setelah sampai aku dan Aidan saling pandang. Akhirnya aku memutuskan melangkah maju.
Air mata yang sudah aku tahan akhirnya luruh. Ku usap batu nisan Devo. Hai lelaki ku aku datang. Maaf aku datang tidak dengan kelapangan hati. Sulit rasanya. Tapi aku janji aku akan baik-baik saja. Kamu juga bahagia ya di sana Devo Syailendra.
(Sendi Perwitasari)
Penulis : Alexander-Wibisono
Sumber : Kompas TV