Menuju Komunikasi Publik yang Demokratis
Opini | 9 Agustus 2023, 14:11 WIB
Oleh: Ubaidillah, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat
JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melangsungkan Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) pada 10 – 12 Agustus 2023 di Bintan, Kepulauan Riau, bersamaan dengan peringatan Hari Penyiaran Nasional (HARSIARNAS) ke-90.
Dua helatan ini mempunyai korelasi sekaligus peran strategis dan akselerasi nilai historis dalam konteks mutakhir penyiaran, utamanya dalam membangun komunikasi publik yang demokratis.
Wajah Komunikasi Publik
Diakui atau tidak, komunikasi publik saat ini tidak terbatas pada sendi penyiaran konvensional, dalam hal ini radio dan televisi. Komunikasi publik dibangun melalui platform media baru berbasis internet. Platform media baru ini mempunyai persoalan yang teramat serius dan, disadari atau tidak, mendominasi komunikasi publik.
Keberadannya tidak hanya menyediakan alternatif informasi, melainkan menjadi lokus pengarusutamaan diskursus publik. Saking cepat dan efektifnya, yang tak kalah penting adalah upaya-upaya lembaga penyiaran, utamanya televisi, menduplikasi siaran yang kecenderungannya viral semata.
Latahnya lembaga penyiaran mengadopsi konten yang sedang viral di media baru berdampak pada mengikisnya kualitas informasi di lembaga penyiaran. Informasi menjadi pekat hiburan yang tidak sehat, mengenyampingkan pokok edukasi yang mustinya terejewantahkan di kuping dan mata pemirsa.
Publik distimulus mengenyam informasi yang notabene berkisah pada dunia privasi selebiritas, atau hanya mencangkok konten sehingga membuat bias implementasi publisher right.
Duplikasi konten ini pelan-pelan membuat percakapan publik yang lebih kritis mandeg dan jumud. Karena konten yang disajikan sebatas berpijak pada sengat penasaran dan hiburan publik, bukan pada nilai.
Dari sekian fenomena ini, menariknya adalah perusahaan media penyiaran juga memanfaatkan media baru untuk menyebarkan berita atau siarannya. Selain memperluas informasi kepada khalayak, tentu saja ini juga tidak bisa dihindari sebagai upaya perluasan ekonomi mereka.
Dalam bahasa Ross Tapsell (2019), ada kekahawatiran para pemilik media terhadap pendapatan iklan. Kue iklan yang dalam perkembagan era digital mulai mengarah ke situs media baru seperti Google, Yahoo, Facebook dan Twitter hingga platfom lainnya seperti Instagram dan TikTok.
Hakikatnya, lembaga penyiaran yang menjadi ladang bisnis media sah dan patut menyeimbangkan kepentingan ekonomi. Tapi bukan berarti salah satunya dominan, apalagi menafikan kepentingan publik di dalamnya.
Komunikasi publik yang saat ini lebih dominan dibangun oleh kepentingan ekonomi menjadi babak baru dari sistem penyiaran Indonesia. Rilis komunikasi publik yang ditopang oleh pemerintah pada masa Orde Baru pada masa lalu, setelah reformasi terjadi konglomerasi komunikasi publik di lembaga penyiaran.
Ini berarti problemnya adalah masih jauhnya publik menjadi tuan dari penyiaran itu sendiri. Komunikasi publik dimonitor dan disetir oleh kehendak ekonomi, bukan semata untuk kepentingan publik.
Merubah situsai ini tentu bukan perkara mudah. Memadukan antara nilai mulia tujuan penyiaran dengan realitas ekonomi penyiaran rasanya bukan seperti membalikkan telapak tangan.
Jalan Tengah
Mencari jalan tengahnya tidak lain adalah melakukan revisi terhadap definisi penyiaran. Dunia penyiaran telah berkembang. Aktivitas penyiaran saat ini tidak hanya sebatas pada radio dan televisi melainkan juga di platform baru. Selain itu, yang terpenting juga adalah keadilan, baik di bidang ekonomi maupun pengawasan konten.
Siapa pun nanti institusi yang akan mengawasi konten di media baru, termasuk bila KPI diberi perluasan wewenang agar konten media baru diawasi lembaga yang disebut UU Penyiaran untuk melakukan pengawasan penyiaran—harus dapat menjawab keinginan masyarakat.
Sebab faktanya, aduan konten negatif yang bersumber media baru oleh masyarakat nyatanya juga masuk di meja ruang kerja KPI. Yang ingin disampaikan di sini adalah adanya kekhawatiran publik terhadap konten media baru yang kecenderungannya bebas tanpa kontrol.
Selain melalui revisi terhadap definisi penyiaran, cara lainnya adalah meneguhkan spirit historis paradigmatik penyiaran. Jika pada 1 April 1933 penyiaran dikelola sepenuhnya untuk menyajikan kedaulatan informasi dari penjajah, maka lahirnya UU Penyiaran tidak luput dari semangat keberagaman isi.
Mengangkat tema Dari Perbatasan Wujudkan Siaran Ramah, Bermartabat dan Berbudaya dalam pelaksanaan RAKORNAS dan HARSIARNAS ke-90 tidak lain adalah untuk merefleksikan kembali pendekatan keberagaman dalam konten lembaga penyiaran.
Perbatasan dalam narasi ini, tidak hanya sebagai representasi teritori, tetapi juga etalase kebudayaan bangsa. Sehingga, penyiaran bisa menjadi satu bagian yang menopang perbatasan dengan siaran-siaran beragam dan mengangkat rasa cinta kepada tanah air. Ini penting diingatkan apalagi menjelang kemerdekaan Republik Indonesia.
Diperlukan satu kehendak untuk kembali mengingat dan memasukkan pendekatan lokalitas dalam layar kaca agar tercipta rasa bangga rumpun masyarakat terhadap bangsa dan segala budayanya. Lokalitas dalam layar kaca diharapkan bisa menetralisir dampak kebuayaan dari luberan siaran asing, termasuk tayangan yang melulu terkesan menyeragamkan.
Selain itu, yang paling penting adalah posisi penyiaran harus terus relevan di tengah keruk isu masyarakat. Transformasi digital yang ditandai dengan migrasi televisi dari analog ke digital, musti diterjemahkan sebagai pembaruan kualitas siaran, bukan semata perubahan dalam bentuk teknologi, suara dan video.
Televisi digital harus dilihat sebagai panggung orkestrasi kebudayaan, paradigma, sikap, termasuk keberagaman konten di dalamnya. Termasuk soal konten pemilu, penyiaran menjadi penopang kejernihan dan koherensi informasi mengenai Pemilu.
Dengan demikian, dalam penyiaran harus memastikan kebenaran informasi yang berdasar fakta, tidak mengandung hoaks dan fitnah, apalagi mendorong pangga perpecahan.
KPI mempunyai kerja sama pengawasan dengan lembaga terkait seperti KPU, Bawaslu dan Dewan Pers. Hal ini tidaklah cukup, mengingat integrasi pengawasan ini butuh dibumikan sampai ke akar, dalam hal ini di daerah.
RAKORNAS dan peringatan HARSIARNAS semoga bisa mendorong ditetapkannya formula yang pas dan tepat sasaran. Sehingga siaran pemilu menjadi ramah, bermartabat dan berbudaya.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV