Mengenal "Uang Kebon", Upah Kuli di Masa Kolonial
Opini kompasianer | 8 Agustus 2023, 16:27 WIBKonten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.tv
Beberapa tahun terakhir nama token cukup populer. Apalagi yang namanya token listrik, semacam pulsa pada ponsel. Ada lagi token-token lain yang memiliki nilai dan dapat ditukar dengan aset-aset tertentu.
Dunia numismatik pun mengenal koleksi yang disebut token. Token dikenal sebagai uang perkebunan. Sebenarnya ada juga token pertambangan.
Token berfungsi sebagai mata uang namun dalam area terbatas, yakni pada perkebunan atau pertambangan tertentu. Di Nusantara, jumlah token perkebunan jauh lebih banyak daripada token pertambangan.
Museum Bank Indonesia, pada Jumat, 23 Juni 2023, pernah menyelenggarakan pameran token selama satu bulan penuh bertema "Token Perkebunan: Sebentuk Kolonialisasi dalam Uang".
Kala itu, pembukaan pameran dilakukan oleh Pak Erwin Haryono, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia.
Ada Sejak Era Perkebunan di Hindia-Belanda
Adanya token bermula dari perkebunan yang dikelola swasta. Menurut Zainal C. Airlangga, Peneliti dan Penulis Sejarah di Museum Bank Indonesia, pembukaan perkebunan secara besar-besaran di Hindia-Belanda dimulai pada 1870. Saat itu dikeluarkan Undang-undang Agraria oleh Pemerintah Kolonial.
Jika pada era sebelumnya berkembang sistem tanam paksa lewat perkebunan besar milik negara, maka dalam era liberal yang berkembang adalah milik swasta. Saat itu perkebunan menjadi 'tambang emas' buat Hindia-Belanda. Banyak devisa dihasilkan dari sana.
Setelah ada Undang-undang Agraria, muncul investasi besar di bidang perkebunan, terutama di Sumatera Timur. Yang paling dikenal perkebunan Deli yang menghasilkan tembakau. Tembakau Deli sangat diminati di mancanegara.
Perkebunan ada juga di sebagian Jawa dengan komoditi tebu dan teh. Selebihnya ada perkebunan kopi, kelapa, pala hingga karet di Kalimantan dan Maluku.
Berbicara masalah perkebunan di masa kolonial, tentu tidak lepas dari masalah perbudakan. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Koeli Ordonantie pada 1880-1915. Sayang, para kuli harus bekerja keras selama 10 jam sehari, bahkan lebih. Di pihak lain, upah yang diterima amat kecil.
Bayangkan di Perkebunan Deli, sebagaimana catatan Zainal, kuli laki-laki mendapat upah 42 sen perhari, sedangkan kuli perempuan 36 sen per hari. Bandingkan dengan 'pekerja bule' yang digaji 250 gulden hingga 1.000 gulden per bulan.
Karena para kuli sering kabur, maka penguasa perkebunan mengeluarkan token atau uang kebon. Para kuli digaji dengan uang token dan uang tersebut hanya berlaku secara lokal di kawasan perkebunan tertentu.
Di area perkebunan sendiri, menurut Saparudin Barus, yang menjadi narsumber, terdapat berbagai usaha yang dilakukan penguasa perkebunan, yakni kedai/warung, perjudian, prostitusi, dan rentenir.
Bahan Baku Token
Token terbuat dari berbagai bahan, yakni logam, kayu, dan bambu dengan variasi ukuran, nominal, dan bentuk berbeda. Ada yang terbuat dari kertas, untuk sementara kita boleh sebut token kertas.
Museum Bank Indonesia memiliki sejumlah uang token, antara lain token Jelok Dalam, Nehmung Poeloe Radja, Tanah Radja, Tjinta Radja Estate, Sinagar Tjirohani, Sandakan, Bedagei Deli, Soengei Boenoet, Tanjong Kuba Sumatra, Soember Doeren, Rimboen, dan Kedang Melayu Simpang Tiga.
Kenapa tuan kebun mengeluarkan token? Katanya, ada kekurangan uang kecil di Sumatera Timur. Alasan lain, lokasi perkebunan umumnya jauh dari pusat kota. Di pihak lain, pemerintah kekurangan bahan untuk membuat mata uang.
Sejak 1911 token tidak berlaku lagi karena pemerintah sudah dapat memenuhi kebutuhan uang pecahan kecil untuk perkebunan-perkebunan tersebut.
Data sejarah tentang token memang masih sedikit. Tidak heran, kata Saparudin Barus, kemudian muncul token palsu, token replika, dan token fantasi.
"Token fantasi tidak pernah dicetak oleh perkebunan dan perusahaan pada masa tersebut," kata beliau.
***
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul ""Uang Kebon" untuk Upah Kuli di Masa Kolonial"
Penulis : Djulianto Susantio
Sumber : Kompasiana