> >

Mengenal "Uang Kebon", Upah Kuli di Masa Kolonial

Opini kompasianer | 8 Agustus 2023, 16:27 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.tv

 
Token Simpang Tiga untuk digunakan di perkebunan Tabak Mij Kwala Kopas di Asahan (Sumber: Materi Saparudin Barus)

Berbicara masalah perkebunan di masa kolonial, tentu tidak lepas dari masalah perbudakan. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Koeli Ordonantie pada 1880-1915. Sayang, para kuli harus bekerja keras selama 10 jam sehari, bahkan lebih. Di pihak lain, upah yang diterima amat kecil.

Bayangkan di Perkebunan Deli, sebagaimana catatan Zainal, kuli laki-laki mendapat upah 42 sen perhari, sedangkan kuli perempuan 36 sen per hari. Bandingkan dengan 'pekerja bule' yang digaji 250 gulden hingga 1.000 gulden per bulan.

Karena para kuli sering kabur, maka penguasa perkebunan mengeluarkan token atau uang kebon. Para kuli digaji dengan uang token dan uang tersebut hanya berlaku secara lokal di kawasan perkebunan tertentu.

Di area perkebunan sendiri, menurut Saparudin Barus, yang menjadi narsumber, terdapat berbagai usaha yang dilakukan penguasa perkebunan, yakni kedai/warung, perjudian, prostitusi, dan rentenir.

Bahan Baku Token

Token terbuat dari berbagai bahan, yakni logam, kayu, dan bambu dengan variasi ukuran, nominal, dan bentuk berbeda. Ada yang terbuat dari kertas, untuk sementara kita boleh sebut token kertas.

Museum Bank Indonesia memiliki sejumlah uang token, antara lain token Jelok Dalam, Nehmung Poeloe Radja, Tanah Radja, Tjinta Radja Estate, Sinagar Tjirohani, Sandakan, Bedagei Deli, Soengei Boenoet, Tanjong Kuba Sumatra, Soember Doeren, Rimboen, dan Kedang Melayu Simpang Tiga.

Kenapa tuan kebun mengeluarkan token? Katanya, ada kekurangan uang kecil di Sumatera Timur. Alasan lain, lokasi perkebunan umumnya jauh dari pusat kota. Di pihak lain, pemerintah kekurangan bahan untuk membuat mata uang.

(Sumber: -)

Sejak 1911 token tidak berlaku lagi karena pemerintah sudah dapat memenuhi kebutuhan uang pecahan kecil untuk perkebunan-perkebunan tersebut.

Data sejarah tentang token memang masih sedikit. Tidak heran, kata Saparudin Barus, kemudian muncul token palsu, token replika, dan token fantasi.

"Token fantasi tidak pernah dicetak oleh perkebunan dan perusahaan pada masa tersebut," kata beliau.

***  

Penulis : Djulianto Susantio

Sumber : Kompasiana


TERBARU