Catatan Hitam Pak Rektor
Opini | 22 Agustus 2022, 14:52 WIBOleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
Sudah lama saya kenal Azyumardi Azra, yang selalu saya sapa, Prof. Karena, putra Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera arat ini, memang seorang Guru Besar: Guru Besar Sejarah Fakultas Adab UIN Sjarif Hidayatullah, Jakarta.
Belum lama ini, Prof Azra yang pernah menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998-2006, didapuk menjadi Ketua Dewan Pers Periode 2022-2025. Saya rasa, ini pilihan yang tepat, karena setumpuk alasan.
Kerap kali saya ngontak Prof Azra untuk bertanya beberapa hal yang saya yakini dia tahu. Dan, Prof Azra selalu menjawab WA saya. Bukan hanya menjawab, tetapi cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan senang hati. Dan, dia selalu menulis, “Bung, kalau masih ada yang kurang dan ingin ditanyakan, silakan kontak. Tks.”
Sungguh beruntung, saya mempunyai sahabat seorang profesor yang baik hati, sehingga saya bisa banyak belajar darinya. Ini sama seperti kalau saya mengontak dan bertanya pada Prof Komaruddin Hidayat yang juga pernah menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah, periode, 2006-2010 dan 2010-2015. Prof Komar, bahkan sekarang menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Indonesia Internasional.
Mereka baik, benar-benar seorang ilmuwan, cendekiawan. Mereka adalah orang yang dengan senang dan tulus hati membagikan ilmunya, dan jadi panutan seluruh anggota civitas academinya, komunitas di universitasnya.
*
Kemarin, saya bertanya pada Prof Azra: Apa artinya menjadi rektor? Pertanyaan lewat WA itu, saya ajukan karena terprovokasi oleh operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Karomani, bersama tujuh orang lainnya yang terdiri dari Wakil Rektor 1, Dekan Fakultas Teknik (FT), dosen dan pihak swasta, Sabtu lalu.
Saya penasaran setelah mendengar penjelasan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri. Katanya, Karomani diduga terjerat tindak pidana korupsi berupa suap. Dia diduga menerima suap dan gratifikasi dalam proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di Universitas Lampung.
Bukan kali ini saja, korupsi menelan korban di perguruan tinggi. Tahun 2014, Rektor Unsoed Edy Yuwono tersandung kasus korupsi proyek kerja sama penggunaan CSR. Di tahun yang sama, mantan Wakil Rektor UI Tafsir Nurchamid divonis hukuman 2,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi proyek instalasi infrastruktur teknologi informasi Gedung Perpustakaan UI.
Masih di tahun yang sama, 2014, Pengadilan Tipikor Ambon memvonis tiga tahun penjara pada mantan Dekan FE Universitas Pattimura Latief Kari (Kompas, 22 Agustus 2022)
Korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya menggunakan kemampuan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya. Korupsi terjadi karena penyalahgunaan kewenangan kekuasan tidak untuk kepentingan bersama, melainkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Itu yang terjadi (Haryatmoko, 2011)
Oalah, ternyata untuk menjadi “orang cerdik pandai” perlu nyuap. Ini aneh bin ajaib. Bukankah, tugas pokok cendekiawan mencari dan menemukan kebenaran (search for truth), berbeda dan kadang tercampur dengan tujuan politisi memburu kekuasaan (search for power), berbeda pula dengan tujuan utama pengusaha, yakni mencari keuntungan.
Bagaimana jadinya, orang yang tugas pokoknya mencari kebenaran, justru mengawalinya dengan ketidak-jujuran? Bagaimana bisa terjadi sosok tertinggi di sebuah lembaga yang mengajarkan kejujuran, justru mengajarkan ketidak-jujuran? Tetapi, itulah yang terjadi.
Bukankah mencari ilmu harus dilakukan dengan jujur. Tanpa kejujuran, ilmu yang diperoleh tidak akan ada gunanya. Ilmu adalah untuk kebenaran, maka harus diperoleh dengan cara yang benar.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV