Seratus Persen
Opini | 21 Agustus 2021, 23:20 WIBBagi Romo Kanjeng, kata G Budi Subanar (2012), katolisitas tidak boleh menggerus nasionalitas. Kekatolikan harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari dalam suatu interaksi kebangsaan. Orang Katolik Indonesia harus berguna tidak hanya bagi Gerejanya, tetapi juga bagi bangsa dan negaranya. Bahkan, orang Katolik baru berguna bagi Gerejanya bila berguna bagi bangsa dan negaranya.
Mereka —umat Katolik— harus memiliki keberanian yang tangguh untuk turut mengisi kemerdekaan yang telah berhasil diperjuangkan oleh bangsa Indonesia. Romo Kanjeng juga menegaskan perihal kewajiban umat Katolik untuk mencintai Gereja Kudus dan kewajiban untuk mencintai negara dengan sepenuh hati, dengan mengingatkan akan ajaran Yesus: “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah” (lih. Mark. 12:17).
Idealnya, seorang Warga Negara Indonesia yang beragama Katolik, justru karena imannya, bergerak melibatkan diri dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia khususnya yang kecil lemah, miskin, tersingkir dan difabel.(Bdk GS 1, Mat 25: 40). Sikap yang ideal itu harus kita usahakan secara pribadi maupun bersama pada segala jenjang.
Karena itu, bekerja sama dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk mewujudkan masyarakat manusia yang makin bermartabat, adil dan sejahtera bersama adalah sebuah keniscayaan. Sebab, politik Katolik adalah perjuangan bagi kesejahteraan bersama, bonum commune (Mgr Ignatius Suharyo, 2009).
III
Itulah tantangan bagi umat Katolik Indonesia. Sebenarnya, sudah sedari awal sejarah republik, umat Katolik selalu ditantang oleh tuntutan besar sebagai warga negara. Bukankah bagi bangsa Indonesia, “Tanah Terjanji” adalah negara dan bangsa yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Karena itu, merawat cinta tanah air adalah sangat penting.
Tetapi, bagaimana kita “merawat cinta tanah air”, merawat “Tanah Terjanji”, di tengah banjirnya arus-arus kecil di dalam kesempitan sektoral yang lebih mementingkan kekamian bahkan keakuan, bukan lagi kekitaan, di ruang bersama, ruang publik? Artinya kepentingan kelompok, kepentingan golongan dinomorsatukan, bukan kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara.
Kita menyaksikan di tengah masa prihatin yang begitu lama karena pandemi Covid-19, maraknya ujaran kebencian, kebohongan publik, mencari keuntungan diri di tengah penderitaan orang lain, dan mengejar popularitas. Itu semua merupakan tanda dangkalnya paham dan penghayatan hidup keagamaan, dan keimanan, lemahnya ketaatan pada hukum, dan tergerusnya rasa kebangsaan serta watak mulia bangsa.
Banyak contoh yang diberikan oleh para tokoh Katolik di masa lalu, tentang bagaimana “cinta tanah air” dan “merawatnya”. Praktiknya macam-macam. Misalnya yang dilakukan oleh, Mgr Soegijapranoto, IJ Kasimo, Ign Slamet Rijadi (TNI-AD), Agustinus Adisutjipto (TNI-AU), Yosafat Soedarso (TNI-AL), Karel Satsuit Tubun (Polri), dan lain-lainnya.
I.J. Kasimo, misalnya, adalah seseorang yang mengubah citra golongan Katolik sebagai unsur yang melekat pada kolonialisme menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia. Ia telah berjuang sejak menjadi anggota Volksraad dengan gagasan yang mendukung perjuangan kemerdekaan. Pada masa revolusi kemerdekaan, ia menjadi menteri yang mengupayakan swasembada pangan ketika hubungan dengan dunia luar terputus. Dalam persidangan konstituante ia memperjuangkan Pancasila agar tetap menjadi dasar negara (Asvi Warman Adam, 2012).
Benih-benih cinta tanah air, patriotisme, nasionalisme yang tumbuh pada diri antara lain Romo Kanjeng Soegiyaprana, dan IJ Kasimo ditaburkan oleh Romo van Lith dan Romo van Driessche, dua misionaris dari Belanda di Muntilan. Romo Driessche, misalnya kata G Budi Subanar (2003), mengartikan kata “ibu bapa” (perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah) dalam arti luas. “Ibu bapa” berarti mencakup bumi, tanah air yang memberi kehidupan. Dengan ini sekaligus ditanamkan rasa cinta tanah air, patriotisme.
Memang, zaman telah berubah, tuntutannya pun berubah. Tetapi menjadi sungguh Katolik dan sungguh Indonesia, adalah perutusan utama yang tidak bisa ditawar lagi. Sebab kata Mateus “…supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di Surga.”
Dengan demikian, Gereja Indonesia, dapat seratus persen terus tumbuh dan berkembang selaras panggilannya di Bumi Pertiwi ini sebagai pelayan kasih bagi sesama manusia; untuk melakukan sesuatu bagi kebaikan bersama.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV