Seratus Persen
Opini | 21 Agustus 2021, 23:20 WIBOleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
I
Beberapa waktu lalu, lewat WA, saya bertanya dengan menggunakan bahasa Jawa kepada Bapak Kardinal -Ignatius Kardinal Suharyo:
“Sugeng siang, Bapak Kardinal. Nyuwun pangapunten…bade nyuwun prikso. Kala emben, nalika khotbah wonten ing Misa Tahbisan Uskup Sibolga, Bapak Kardinal ngajak umat sesarengan ngidungaken kidungan Rayuan Pulau Kelapa. Kenging menopo? Matur nuwun.” (Selamat siang, Bapak Kardinal. Mohon maaf, ngrepoti…mau bertanya. Kemarin, ketika khotbah dalam Misa Tahbisan Uskup Sibolga, Bapak Kardinal mengajak umat untuk bersama-sama menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Mengapa? Terima kasih).
Tak lama kemudian, Bapak Kardinal membalas WA saya, dan menggunakan bahasa Jawa juga: “Sugeng siang, Mas. Mergi wonten penjelasan bab lambangipun Bpk Uskup, werni merah putih negesaken bilih wilayahipun, Keuskupan Sibolga, dados bagian NKRI. Lha, kesempatan kangge kula ngajak umat kangge merawat cinta tanah air. BD.” (Selamat siang, Mas. Dalam lambang Bapak Uskup, warna merah putih, menegaskan bahwa wilayah Keuskupan Sibolga adalah bagian dari NKRI. Inilah kesempatan bagi saya untuk mengajak umat bersama-sama merawat rasa cinta tanah air. Berkah Dalem.”
Ketika itu, dalam video pendek saya melihat Bapak Kardinal menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan suara lantang: Tanah airku Indonesia/Negeri elok amat kucinta/Tanah tumpah darahku yang mulia/Yang kupuja sepanjang masa/….
Tak pelak lagi Gereja Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga, tempat pentahbisan uskup baru Keusukupan Sibolga, Mgr Fransiskus TS Sinaga, ramai sekaligus mengharukan, dan membanggakan. Lagu Rayuan Pulau Kelapa adalah karya Ismail Marzuki (1914-1958), anak Betawi.
II
“Cinta tanah air.” Itu kata kuncinya, seperti dikatakan Kardinal Suharyo. Enam puluh sembilan tahun silam, Romo Kanjeng Soegiyapranata, uskup pertama Keuskupan Agung Semarang merumuskan “cinta tanah air” itu menjadi sebuah slogan, semboyan yang hingga kini masih sangat relevan.
Pada saat memberikan sambutan pada Kongres I WKRI di Solo tahun 1952, Romo Kanjeng memperkenalkan semboyan “Jadilah Katolik 100 persen dan sekaligus 100 % nasionalis.” Katanya, “Jika kita benar-benar Katolik sejati sekaligus kita juga patriot sejati. Karenanya kita adalah 100% patriot, karena kita adalah 100% Katolik.”
Kata Romo Kanjeng, “Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100 % patriotik sebab kita juga merasa 100 % Katolik. Malahan menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati. (G Budi Subanar, 2005)
Itulah rumusan Romo Kanjeng tentang identitas kekatolikan yang bertemu dengan identitas nasional, Indonesia. Rumusan itu, “100 % Katolik, 100 % nasionalis” menegaskan bagaimana kekatolikan di Indonesia dipahami.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV