> >

PBB: Lebih dari 400.000 Anak di Lebanon Mengungsi karena Perang

Kompas dunia | 15 Oktober 2024, 16:36 WIB
Sebuah keluarga pengungsi yang melarikan diri dari serangan udara Israel di selatan, duduk di samping tenda mereka di tepi pantai Beirut, Lebanon, Senin, 14 Oktober 2024. (Sumber: Foto AP/Bilal Hussein)

BEIRUT, KOMPAS.TV — Lebih dari 400.000 anak di Lebanon telah mengungsi dalam tiga minggu terakhir akibat perang yang berkecamuk. Hal ini diungkapkan oleh seorang pejabat badan PBB untuk anak-anak UNICEF, Senin (14/10/2024). Ia memperingatkan tentang generasi yang hilang di negara kecil yang bergulat dengan berbagai krisis dan sekarang berada di tengah perang.

Adapun Israel telah meningkatkan serangan melawan kelompok militan Hizbullah yang berbasis di Lebanon, termasuk meluncurkan invasi darat, setelah satu tahun terjadi baku tembak selama perangnya dengan Hamas di Gaza.

Pertempuran di Lebanon telah menyebabkan 1,2 juta orang meninggalkan rumah mereka, sebagian besar dari mereka melarikan diri ke Beirut dan tempat lain di utara selama tiga minggu terakhir sejak eskalasi tersebut.

Ted Chaiban, wakil direktur eksekutif UNICEF untuk tindakan kemanusiaan, telah mengunjungi sekolah-sekolah yang telah diubah menjadi tempat penampungan untuk menampung keluarga-keluarga yang mengungsi.

Baca Juga: Serangan Israel Hantam Apartemen di Lebanon, 18 Orang Tewas

"Yang mengejutkan saya adalah perang ini baru berlangsung tiga minggu dan sudah banyak anak yang terkena dampaknya," kata Chaiban kepada The Associated Press di Beirut.

"Saat kita duduk di sini hari ini, 1,2 juta anak kehilangan pendidikan. Sekolah umum mereka tidak dapat diakses, rusak akibat perang, atau digunakan sebagai tempat penampungan. Hal terakhir yang dibutuhkan negara ini, selain semua yang telah dilaluinya, adalah risiko kehilangan generasi," ujarnya.

Meskipun beberapa sekolah swasta Lebanon masih beroperasi, namun sistem sekolah umum sangat terpengaruh oleh perang. Kini nasib anak-anak Lebanon menyamai orang-orang yang paling rentan di negara itu seperti pengungsi dari Palestina dan Suriah.

"Yang saya khawatirkan adalah kita memiliki ratusan ribu anak-anak Lebanon, Suriah, Palestina yang berisiko kehilangan kesempatan belajar," kata Chaiban.

Menurut Kementerian Kesehatan, lebih dari 2.300 orang di Lebanon telah tewas dalam serangan Israel, hampir 75% di antaranya terjadi selama bulan lalu.

“Dalam tiga minggu terakhir, lebih dari 100 anak tewas dan lebih dari 800 lainnya terluka,” ungkapnya.

Ia mengatakan anak-anak terlantar dijejalkan ke dalam tempat penampungan yang penuh sesak, tempat tiga atau empat keluarga dapat tinggal di ruang kelas yang dipisahkan oleh lembaran plastik, dan tempat 1.000 orang dapat berbagi 12 toilet yang tidak semuanya berfungsi.

Banyak keluarga terlantar yang ditemukan telah mendirikan tenda di sepanjang jalan atau di pantai umum.
“Sebagian besar anak-anak terlantar telah mengalami begitu banyak kekerasan, termasuk suara tembakan atau tembakan, sehingga mereka takut mendengar suara keras apa pun,” ujar Chaiban.

Eskalasi ini juga telah melumpuhkan lebih dari 100 fasilitas perawatan kesehatan primer, sementara 12 rumah sakit tidak lagi berfungsi atau hanya berfungsi sebagian.

Baca Juga: Uni Eropa Kutuk Serangan Israel terhadap Pasukan Penjaga Perdamaian di Lebanon

Selain itu, infrastruktur air juga diserang. Dalam tiga minggu terakhir, 26 stasiun air yang menyediakan air untuk hampir 350.000 orang telah rusak. Saat ini UNICEF bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk memperbaikinya.

UNICEF menyerukan agar infrastruktur sipil dilindungi. Mereka juga mengimbau gencatan senjata di Lebanon dan Gaza, dengan mengatakan perlu ada kemauan politik dan kesadaran bahwa konflik tidak dapat diselesaikan melalui cara militer.

"Yang harus kita lakukan adalah memastikan bahwa ini harus berhenti, bahwa kegilaan ini dihentikan, bahwa ada gencatan senjata sebelum kita mengalami kehancuran, rasa sakit, penderitaan, dan kematian seperti yang telah kita lihat di Gaza," tandas Chaiban.

 

Penulis : Tussie Ayu Editor : Gading-Persada

Sumber : The Associated Press


TERBARU