> >

Hanya Dua Pemimpin Asia Hadiri KTT Perdamaian Ukraina, Indonesia Bahkan Cuma Kirim Dubes di Swiss

Kompas dunia | 16 Juni 2024, 22:22 WIB
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di KTT di Swiss, Sabtu, 15 Juni 2024. PM Jepang, Fumio Kishida, bersama PM Timor Leste Jose Ramos Horta pada 15 Juni adalah dua pemimpin Asia yang hadir di KTT perdamaian di Swiss, Singapura diwakili Menteri Senior Sim Ann, Thailand diwakili Wamenlu Russ Jalichandra dan Filipina diwakili penasihat presiden, Carlito Galvez Jr, Indonesia hanya diwakili Dubes untuk Swiss, I Gede Ngurah Swajaya. (Sumber: BBC)

Dari 92 negara yang berpartisipasi dalam KTT, sebagian besar, 57 negara, diwakili oleh kepala negara atau kepala pemerintahannya. Hanya delapan negara dari Asia yang mengirim delegasi.

Menjelang KTT Perdamaian itu, Zelenskyy datang ke Asia dalam upaya diplomatik untuk membuat lebih banyak negara di kawasan ini menghadiri konferensi tersebut. Ini termasuk kunjungan langsung ke KTT pertahanan utama kawasan, Shangri-La Dialogue di Singapura, pada awal Juni.

“Kami ingin Asia tahu apa yang terjadi di Ukraina. Kami ingin Asia mendukung diakhirinya perang, dan para pemimpin Asia hadir di KTT perdamaian,” kata Zelensky pada dialog tersebut.

Zelenskyy pun menuduh Rusia menggunakan pengaruh dan diplomat China untuk menekan negara-negara di kawasan ini agar tidak berpartisipasi dalam KTT perdamaian.

Baca Juga: Pertama Kali, Putin Paparkan Syarat untuk Pembicaraan Damai dengan Ukraina

Delegasi KTT Ukraina di Swiss, Sabtu, 15 Juni 2024. (Sumber: Atlanta Journal)

Presiden Senat dan mantan perdana menteri Kamboja Hun Sen, bagaimanapun, menekankan keputusan Kamboja tidak hadir sama sekali tidak bukan hasil tekanan China.

Apakah negara lain bergabung atau tidak adalah hak mereka untuk memutuskan. Tolong jangan coba menyalahkan China ketika Kamboja tidak berpartisipasi dalam KTT perdamaian, dan tolong berhenti mengaitkan Kamboja dengan permainan geopolitik melawan China,” tulis Hun Sen dalam postingan Facebook pada 7 Juni lalu.

Negara Asia Tenggara lainnya yang absen termasuk Vietnam, Laos, dan Malaysia.

Profesor Thitinan Pongsudhirak, ahli ilmu politik dan hubungan internasional dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, mengatakan ketidakhadiran Malaysia mungkin menandakan bahwa mereka menganggap Gaza dan Myanmar sebagai krisis yang lebih kritis. 

“Malaysia, sebagai ketua Asean tahun depan, tampaknya mengambil sikap prinsipnya sendiri dengan agenda berbasis nilai di Gaza dan Myanmar,” kata Pongsudhirak.

Ukraina berada dalam posisi yang sangat genting, menghadapi tetangga yang jauh lebih besar dengan lebih banyak senjata dan tentara dalam perang brutal. Oleh karena itu, konferensi perdamaian ini dikatakan sebagai acara penting bagi Ukraina untuk menunjukkan bahwa mereka masih memiliki dukungan politik dan diplomatik yang signifikan.

“Zelenskyy mencoba mengumpulkan dukungan sebanyak mungkin untuk negaranya, baik dalam hal mendorong diakhirinya konflik atau membangun kembali negaranya setelah perang,” kata Prof Chong dari NUS, menambahkan bahwa kehadiran dari Asia adalah nilai tambah bagi Ukraina dan Zelenskyy dalam hal ini.

Baca Juga: Panglima TNI Buka Peluang Masyarakat Sipil Gabung dengan Pasukan Perdamaian di Gaza

Prof Chong mengatakan bahwa meskipun negara-negara seperti Singapura dan Filipina telah menyatakan dukungan untuk Ukraina, perwakilan mereka di konferensi perdamaian oleh delegasi setingkat menteri kemungkinan sesuai dengan kepentingan mereka, mengingat mereka mungkin melihat perkembangan di Eropa sebagai hal yang berada di luar kemampuan atau keinginan mereka untuk mempengaruhi secara langsung.

“Paling tidak, pemerintah saat ini dari negara-negara ini mungkin berusaha memperkuat aturan dan institusi internasional yang ada sambil melihat apakah ada peluang untuk berpartisipasi dalam rekonstruksi pasca-konflik di Ukraina kapan pun itu terjadi,” tandas Prof Chong.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada

Sumber : Straits Times


TERBARU