> >

Berbalik Arah, Thailand Ingin Kembali Ilegalkan Ganja dan Masukkan ke Daftar Narkotika

Kompas dunia | 9 Mei 2024, 18:45 WIB
Dr. Banchob Promsa, penyuluh petani ganja di Thailand. Kebijakan ganja di Thailand membuat ribuan petani mendadak bertanam ganja, membuat pasar dipenuhi produk ganja sehingga harga anjlok dan petani tidak mendapat untung. Harga pasaran ganja di Thailand sekarang 500 baht atau Rp210 ribu hingga paling mahal 2.000 baht atau Rp800 ribuan per kg untuk kualitas paling mantap. (Sumber: Straits Times)

BANGKOK, KOMPAS.TV - Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin mengatakan bahwa ia ingin ganja dimasukkan kembali ke dalam daftar narkotika pada akhir tahun ini.

Langkah ini tentu berbalik 180 derajat dari keputusan dua tahun setelah Thailand menjadi salah satu negara pertama di Asia yang melegalkan ganja.

Dalam unggahan di akun Facebook-nya, Rabu (8/5/2024), Srettha yang mulai menjabat pada bulan Agustus lalu meminta Kementerian Kesehatan mengubah undang-undang agar lebih ketat sehingga ganja hanya dapat digunakan untuk alasan medis dan kesehatan.

Dilansir dari New York Times, penjualan ganja di Thailand secara teknis sebenarnya hanya ditujukan untuk keperluan medis. Namun, peraturan yang longgar menyebabkan banyak pelaku usaha secara terbuka menjual bunga ganja kering dan mengimpornya secara ilegal. 

Dalam undang-undang baru tersebut, nantinya merokok ganja di depan umum juga dilarang.

Thailand mendekriminalisasi ganja pada bulan Juni 2022 hingga menyebabkan industri dalam negeri baru-baru ini menghadapi tantangan persaingan dan kelebihan pasokan. 

Baca Juga: Polisi: Bos Narkoba Fredy Pratama sudah Kehabisan Modal, Sekarang Tinggal di Dalam Hutan Thailand

Ada ribuan apotek terdaftar di negara ini, dan ganja diresepkan di ratusan klinik pengobatan tradisional. Investor asing juga tertarik untuk mendukung pembangunan pertanian ganja dalam ruangan berteknologi tinggi.

Kamar Dagang Universitas Thailand mengatakan dalam laporan tahun 2022 bahwa industri ganja dalam negeri mempunyai potensi bernilai $1,2 miliar pada tahun 2025.

Setelah parlemen Thailand memilih Srettha, seorang taipan real estat, untuk menjadi perdana menteri, para pakar industri berharap bahwa pemerintah baru memperketat peraturan seputar budi daya dan penjualan obat tersebut.

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Vyara-Lestari

Sumber : New York Times


TERBARU