> >

Perang Belum Usai, Diplomat di Washington, Timur Tengah, dan PBB Mulai Merancang Masa Depan Gaza

Kompas dunia | 3 November 2023, 23:05 WIB
Peta wilayah Israel dan Palestina. Diplomat di Washington, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Timur Tengah, dan negara-negara lainnya mulai mempertimbangkan opsi-opsi yang mungkin terjadi di "hari esok Gaza" jika Israel berhasil mengalahkan kelompok Hamas, dan tantangan terlihat di masa depan tampak sangat menakutkan. (Sumber: AP Photo )

WASHINGTON, KOMPAS.TV - Saat pasukan Israel semakin memperkuat serangan mereka terhadap Hamas di Jalur Gaza, para diplomat di Washington, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Timur Tengah, dan negara-negara lainnya mulai mempertimbangkan opsi-opsi yang mungkin terjadi di "hari esok Gaza" jika Israel berhasil mengalahkan kelompok Hamas. Tantangan yang terlihat di masa depan disebut tampak sangat menakutkan.

Pertemuan-pertemuan ini mencakup penempatan kekuatan multinasional pasca-konflik, pemerintahan sementara yang dipimpin Palestina yang akan mengecualikan politikus Hamas, peran sementara dalam bidang keamanan dan tata kelola yang akan dilakukan oleh negara-negara Arab tetangga, dan pengawasan sementara oleh PBB atas wilayah tersebut. Hal itu diungkapkan sumber yang mengetahui perkembangan ini, seperti dilaporkan Straits Times, Jumat (3/11/2023).

Proses ini masih berada dalam tahap apa yang disebut sumber Amerika Serikat (AS) lainnya sebagai "merancang gagasan" secara tidak resmi. Pertanyaan-pertanyaan penting mencakup apakah Israel dapat memusnahkan Hamas sesuai dengan sumpah mereka, dan apakah AS serta sekutu-sekutu Baratnya, dan pemerintah-pemerintah Arab bersedia untuk mengirim personel militer untuk berdiri di antara Israel dan Palestina, mengatasi keraguan yang selama ini mereka rasakan.

Pemerintah AS pada Rabu (1/11/2023) melalui pernyataan Wakil Presiden Kamala Harris menyatakan tidak ada rencana atau niat untuk menempatkan pasukan AS di Gaza.

Saat perdebatan ini semakin mendapatkan momentum, otoritas kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 9.000 jiwa telah tewas dibunuh serangan Israel di wilayah Gaza yang dihuni oleh 2,3 juta penduduk Palestina. Lebih dari setengah penduduk Gaza mengungsi, rumah sakit penuh sesak tanpa pasokan listrik dan obat-obatan dan sekarang harus menolak pasien yang terluka, sedangkan pekerja pemakaman hampir kehabisan lahan pemakaman.

Belum jelas apakah Otoritas Palestina mampu atau bersedia untuk mengambil alih kendali. Otoritas Palestina punya otonomi terbatas di Tepi Barat yang diduduki Israel, sementara Gaza dikuasai oleh Hamas.

Baca Juga: Pentagon Tolak Gencatan Senjata Perang Israel-Hamas di Gaza walau Biden Setuju Jeda Kemanusiaan

Diplomat di Washington, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Timur Tengah, dan negara-negara lainnya mulai mempertimbangkan opsi-opsi yang mungkin terjadi di "hari esok Gaza" jika Israel berhasil mengalahkan kelompok Hamas, dan tantangan terlihat di masa depan tampak sangat menakutkan. (Sumber: Foreign Policy)

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Selasa, memberikan gambaran tentang Otoritas Palestina yang mungkin "dihidupkan kembali". Tetapi, pemerintahan Presiden Mahmoud Abbas dilanda tuduhan korupsi dan pengelolaan yang buruk.

Setiap entitas yang berusaha memegang kendali di Gaza pasca-perang juga harus menghadapi pandangan di kalangan warga Palestina yang mungkin menganggap entitas tersebut tunduk kepada Israel. 

Bahkan jika pimpinan Hamas digulingkan, akan sangat sulit untuk menghilangkan sentimen yang mendukung perjuangan bersenjata dari penduduk Gaza, yang meningkatkan ancaman serangan baru, termasuk bom bunuh diri, terhadap siapa pun yang berusaha mengambil alih kendali.

"Jika Israel berhasil menghancurkan Hamas, saya kira sangat sulit untuk mendirikan struktur pemerintahan yang sah dan berfungsi di sana," kata Aaron David Miller, mantan perunding Timur Tengah AS.

"Pertemuan mengenai 'hari esok Gaza' saat ini tampak sangat mustahil," tambah Miller.

Pertemuan-pertemuan ini semakin intensif karena Israel meluaskan serangan udara, darat, dan laut di Gaza. Namun, pertemuan-pertemuan tersebut juga didorong oleh pandangan pejabat AS yang melihat kegagalan Israel dalam merumuskan akhir dari konflik yang tengah berlangsung. 

Kebutuhan Sangat Besar untuk Rekonstruksi

Kesadaran semakin meningkat bahwa dibutuhkan bantuan internasional dalam jumlah besar untuk membangun kembali Gaza. Namun, bantuan semacam itu hampir tidak mungkin diperoleh dari pemerintah-pemerintah Barat selama Hamas masih berkuasa.

Sejenak sebelum berangkat dalam perjalanan ke Israel dan Yordania pada hari Kamis, Blinken mengatakan bahwa pertemuan di wilayah tersebut tidak hanya akan membahas "langkah-langkah konkret" untuk meminimalkan kerusakan pada warga sipil di Gaza, melainkan juga akan mencakup pembicaraan mengenai rencana pasca-perang.

"Kita fokus pada hari ini. Namun, kita juga harus memikirkan hari berikutnya," kata Blinken kepada para wartawan. Menurutnya, landasan untuk perdamaian yang langgeng adalah menciptakan jalan menuju kemerdekaan Palestina yang pada akhirnya merupakan tujuan yang lama ditolak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Baca Juga: Masih Ada Satu Keluarga WNI Belum Dievakuasi dari Gaza, Ternyata Ini Penyebabnya

Diplomat di Washington, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Timur Tengah, dan negara-negara lainnya mulai mempertimbangkan opsi-opsi yang mungkin terjadi di "hari esok Gaza" jika Israel berhasil mengalahkan kelompok Hamas, dan tantangan terlihat di masa depan tampak sangat menakutkan. (Sumber: TRT World)

Pelajaran Penting dari Irak, Afghanistan, dan Haiti

Pejabat AS menyatakan secara pribadi, mereka bersama rekan-rekan Israel telah berbicara mengenai pelajaran yang dapat dipetik dari kegagalan Washington dalam invasi ke Irak dan Afghanistan serta ketidaksiapan dalam menghadapi dampak pasca-perang.

Salah satu pilihan yang dibahas pejabat AS adalah pembentukan pasukan multinasional untuk menjaga ketertiban. Komposisi pasukan ini bisa mencakup beberapa campuran negara-negara Eropa atau Arab, meskipun tidak ada negara yang secara terbuka menyatakan minat untuk bergabung dalam pasukan semacam itu.

Presiden AS Joe Biden yang mengakhiri kehadiran militer Washington selama dua dekade di Afghanistan pada tahun 2021, kemungkinan tidak ingin terlibat dalam tindakan militer langsung dalam konflik asing baru saat ia berusaha terpilih kembali pada pemilu presiden AS tahun 2024.

Beberapa analis kebijakan juga mengusulkan ide penempatan pasukan yang didukung oleh PBB di Gaza, baik sebagai pasukan pemeliharaan perdamaian formal PBB, seperti yang dilakukan di perbatasan Israel-Lebanon, atau sebagai pasukan multinasional dengan persetujuan PBB.

Namun para diplomat mengatakan belum ada pembicaraan di Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai langkah semacam ini, yang akan memerlukan kesepakatan di antara 15 anggota Dewan Keamanan PBB.

Misi semacam ini sering menghadapi rintangan besar. Pada Oktober 2022, Haiti meminta bantuan internasional untuk melawan geng-geng bersenjata. Setahun kemudian, Dewan Keamanan PBB mengizinkan misi keamanan asing, namun tertunda oleh kesulitan untuk menemukan negara yang bersedia memimpinnya. Kenya kemudian mengambil peran tersebut, tetapi Haiti masih menunggu misi Kenya untuk tiba dan bekerja di lapangan.

Israel kemungkinan akan menentang peran keamanan PBB, terutama setelah pejabat Israel mengritik Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang mengatakan bahwa serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober "tidak terjadi begitu saja".

Israel mengantisipasi perang yang akan berlangsung lama, tetapi mengatakan mereka tidak punya minat untuk kembali menguasai Gaza.

Baca Juga: Pasukan Paramiliter Iran Dilaporkan Tiba di Lebanon, Dikerahkan untuk Serang Israel

Seorang warga Palestina membopong jenazah anak yang terbunuh serangan udara Israel di kamp pengungsian Nusseirat, Gaza, Selasa (31/10/2023). Diplomat di Washington, PBB, Timur Tengah, dan negara-negara lainnya mulai mempertimbangkan opsi-opsi yang mungkin terjadi di "hari esok Gaza" jika Israel berhasil mengalahkan kelompok Hamas, dan tantangan terlihat di masa depan tampak sangat menakutkan. (Sumber: Mohammed Dahman/Associated Press)

Payung Regional

Pakar-pakar di luar negeri, beberapa di antaranya dikenal punya akses kepada para pembuat kebijakan AS, memberikan pandangan mereka tentang bagaimana Gaza pasca-perang mungkin akan terlihat.

Jika Hamas dapat dicabut kekuasaannya dan Gaza dinyatakan sebagai wilayah yang tidak bersenjata, "Hal ini bisa membuka jalan bagi pendirian pemerintahan sementara dengan pemerintahan Palestina yang bersifat teknokratis di bawah naungan internasional dan/atau regional," kata Dennis Ross, mantan perunding Timur Tengah dan penasihat Gedung Putih.

Rincian lebih lanjut, katanya, akan memerlukan keterlibatan AS yang kompleks dengan Otoritas Palestina dan pemain-pemain utama lainnya yang memiliki kepentingan dalam menstabilkan Timur Tengah.

Namun, agar rencana ini berhasil, Israel harus membatasi waktu kehadiran militernya di Gaza atau entitas yang mengambil alih pemerintahan baru dapat kehilangan legitimasinya di mata penduduk setempat, kata Ross.

Sebuah artikel yang ditulis oleh Ross dan dua rekannya di Institut Washington untuk Kebijakan Timur Tengah, mengusulkan, setelah Israel menarik mundur pasukannya, keamanan di Gaza dapat diserahkan kepada "konsorsium lima negara Arab yang telah mencapai perjanjian perdamaian dengan Israel: Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko."

Tetapi ada keraguan mengenai apakah kesepakatan semacam itu dapat tercapai.

"Negara-negara Arab tidak akan mungkin mengirim pasukan untuk membunuh rakyat Palestina," kata Aaron David Miller, yang kini bekerja di Carnegie Endowment for International Peace di Washington.

 

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Straits Times


TERBARU