Indonesia Ajukan Dua Langkah Penyelesaian Masalah Pengungsi Rohingya
Kompas dunia | 23 September 2023, 14:11 WIBNEW YORK, KOMPAS.TV - Pemerintah Indonesia mengajukan dua langkah penyelesaian masalah pengungsi Rohingya, warga etnis minoritas di Myanmar, di sela-sela High Level Week Sidang Majelis Umum PBB ke-78.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengatakan komitmen politik merupakan keniscayaan dalam menyelesaikan persoalan pengungsi Rohingya.
“Nasib masyarakat Rohingya masih belum jelas. Situasi global dan kondisi domestik di Myanmar membuat isu ini semakin kompleks dan sulit. Komitmen politik yang kuat untuk menyelesaikan isu ini adalah niscaya," kata Menlu Retno.
Hal itu disampaikan pada pertemuan side event mengenai Rohingya bertajuk Have They Forgotten Us? Ensuring Continued Global Solidarity with the Rohingya of Myanmar di sela-sela High Level Week Sidang Majelis Umum PBB ke-78, Kamis (21/9/2023).
Retno menyebutkan dua langkah yang perlu dilakukan untuk membantu para pengungsi Rohingya.
Pertama, mendorong adanya solusi politik.
“Isu Rohingya adalah isu kemanusiaan, tapi sangat politis. Oleh karenanya, satu-satunya jalan keluar untuk Rohingya ini adalah melalui solusi politik," ujarnya, dikutip dari laman resmi Kementerian Luar Negeri RI.
Retno menilai penyelesaian masalah Rohingya tidak dapat dipisahkan dari solusi krisis politik yang tengah berlangsung saat ini di Myanmar.
Baca Juga: Myanmar Terima Pengiriman Pertama Jet Tempur Canggih Su-30SME dari Rusia, Begini Kecanggihannya
Upaya dialog nasional yang inklusif yang didorong oleh ASEAN melalui 5 Point Consensus, kata Menlu, juga harus mencakup penyelesaian persoalan warga Rohingya.
Mengenai repatriasi pengungsi Rohingya, Retno mengatakan harus difasilitasi secara sukarela, aman, dan bermartabat.
Dia mengatakan ASEAN sebagai organisasi negara-negara Asia Tenggara, akan terus membantu dan tidak akan melupakan persoalan warga Rohingya.
Langkah kedua yang diajukan pemerintah Indonesia adalah memastikan tersedianya bantuan kemanusiaan.
Retno mengatakan rakyat Myanmar secara umum memerlukan bantuan kemanusiaan. Namun, bantuan bagi warga Rohingya paling dibutuhkan.
“Saat ini lebih dari 1 juta masyarakat Rohingya terlantar dan menjadi pengungsi, sementara mereka yang tinggal di wilayah Rakhine juga menghadapi situasi yang sangat sulit. Mereka rentan menjadi korban kejahatan terorganisir," ujarnya.
Baca Juga: Ratusan Pengungsi Rohingya Terdampar di Pantai Aceh, Sebagian Perlu Perawatan Medis
Menlu menyerukan kepada dunia internasional untuk memperkuat dukungan bagi penyelesaian masalah Rohingya.
“Saat ini, masyarakat Rohingya menangis dalam senyap. Hanya karena kita tidak bisa mendengar tangisan mereka, kita tidak boleh tinggal diam," tutur Menlu Retno menutup pernyataannya.
Warga Rohingya yang mayoritas Muslim, mengalami diskriminasi selama bertahun-tahun di Myanmar termasuk tidak mendapatkan status kewarganegaraan, akses pada layanan kesehatan, dan lain-lainnya.
Dimulai Agustus 2017, militer Myanmar melancarkan operasi pembersihan di negara bagian Rakhine yang berada di bagian utara negara itu usai kelompok militan Rohingya dituding melakukan serangan terhadap polisi dan penjaga perbatasan.
Saat menjalankan operasi tersebut, pasukan Myanmar diduga melakukan pembunuhan dan pemerkosaan massal terhadap warga Rohingya dan membakar ribuan rumah.
Baca Juga: Dilema Pengungsi Rohingya yang Sudah Empat Gelombang Tinggal di Aceh
Dilansir Associated Press, akibatnya, lebih dari 700.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Hingga saat ini, tercatat lebih dari 1 juta warga Rohingya mengungsi di negara tetangga Myanmar itu.
Pada Agustus 2022, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengatakan para pengungsi Rohingya yang hidup di negaranya harus kembali ke Myanmar.
"Orang-orang Rohingya adalah warga negara Myanmar dan mereka harus diambil kembali," kata Hasina seperti dikutip sekretaris persnya, Ihsanul Karim.
Pada Maret 2022, Amerika Serikat menyebut penindasan terhadap warga Rohingya di Myanmar setara dengan genosida.
Penulis : Edy A. Putra Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV, Associated Press