> >

Pemilu Thailand: Pemimpin Militer Kalah, Dua Partai Oposisi Menang Besar

Kompas dunia | 15 Mei 2023, 08:37 WIB
Pita Limjaroenrat, pemimpin Partai Move Forward. Dua partai oposisi, yaitu Move Forward dan Partai Pheu Thai masing-masing menduduki peringkat pertama dan kedua dalam pemilu Thailand yang ditutup pada Minggu (14/5) sore). (Sumber: Pattaya Mail)

BANGKOK, KOMPAS.TV – Pemungutan suara dalam pemilihan umum di Thailand telah ditutup pada Minggu (14/5) pukul 17.00, setelah dimulai pada hari yang sama pukul 08.00 pagi. Sebanyak 95.000 tempat pemungutan suara yang tersebar di seluruh negeri.

Hingga kini sekitar 97 persen suara telah dihitung. Data dari Komisi Pemilihan menunjukkan bahwa dua partai oposisi yaitu Move Forward memenangkan suara terbanyak dan tempat kedua dimenangkan oleh Partai Pheu Thai.

Partai Move Forward dipimpin oleh Pita Limjaroenrat. Pita adalah mantan eksekutif teknologi berusia 42 tahun, yang popularitasnya naik pesat dalam jajak pendapat. Dia dikenal sebagai kandidat yang muda, progresif, ambisius, dan berkampanye dengan pesan sederhana namun kuat: Thailand perlu berubah.

Pita menggambarkan hasil malam itu sebagai "sensasional" dan berjanji partainya akan tetap menentang partai-partai yang didukung militer ketika membentuk pemerintahan baru.

Partai tersebut akan melakukan pembicaraan dengan Partai Pheu Thai. “Kesepakatan koalisi pasti akan terjadi”, katanya kepada wartawan.

Baca Juga: Puluhan Biksu Jalan Kaki dari Thailand ke Candi Borobudur untuk Peringatan Waisak

Sedangkan pemimpin Partai Pheu Thai adalah Paetongtarn Shinawatra, yang merupakan putri dari mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra. Wanita berusia 36 tahun itu memanfaatkan jaringan luas ayahnya sambil tetap berpegang pada pesan populis yang bergema di pedesaan.

Paetongtarn mengucapkan selamat kepada Move Forward atas kesuksesan mereka dan berkata, "Kita bisa bekerja sama.”

"Kami siap berbicara dengan Move Forward, tapi kami menunggu hasil resminya," tambahnya seperti dikutip dari BBC.
Namun terlepas dari kesuksesan mereka, Move Forward dan Pheu Thai mungkin masih menghadapi pertempuran untuk merebut kekuasaan.

Pemilu 2023 digambarkan sebagai titik balik bagi negara yang telah mengalami selusin kudeta militer dalam sejarahnya.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, jenderal militer yang memimpin kudeta terakhir pada tahun 2014, masih berharap akan memenangkan pemilu, namun mendapat tantangan kuat dari dua partai anti-militer.

Prayuth yang merupakan petahana dan pemimpin Partai Persatuan Bangsa hanya menempati posisi kelima dengan mendapatkan 9 persen dari total suara. Seperti dikutip dari The Associated Press, partai ini menempati posisi ketiga dalam penghitungan preferensi partai dengan hampir 12 persen suara dan memberinya 23 kursi parlemen.

Prayuth berkuasa di Thailand setelah merebut kekuasaan dari pemerintahan yang dipimpin oleh saudara perempuan Thaksin, Yingluck Shinawatra, pada 2014.

 

"Dan perubahan itu benar-benar bukan tentang melakukan kudeta lagi. Karena itu adalah perubahan ke belakang. Ini tentang mereformasi militer, monarki, untuk masa depan yang demokratis, dengan kinerja ekonomi yang lebih baik," kata Thitinan Pongsudhirak, dari Institute of Security and International Studies di Universitas Chulalongkorn, seperti dikutip dari Radio New Zealand.

Sebelum pemungutan suara, ketiga partai dipertimbangkan untuk kemungkinan besar memimpin pemerintahan baru. Paetongtarn Shinawatra sebelumnya diunggulkan dalam jajak pendapat untuk dipilih sebagai pemimpin negara berikutnya.

Baca Juga: Putri Thaksin Shinawatra Difavoritkan Jadi Perdana Menteri Thailand

Namun dalam hasil pemilu, pemimpin Partai Move Forward, Pita Limjaroenrat, tampaknya memiliki prospek untuk menjadi pemimpin Thailand berikutnya.

Move Forward bahkan mengungguli proyeksi optimis, dan partai tersebut siap untuk merebut semua, atau hampir semua, 33 kursi parlemen untuk ibu kota Bangkok.

Bersama dengan Pheu Thai, ia mengkampanyekan reformasi militer dan monarki. Tapi Move Forward menempatkan masalah tersebut dengan lebih radikal. Secara terbuka mereka mendukung reformasi kecil monarki. Mereka memenangkan pemilih yang lebih muda, sekaligus memusuhi kaum konservatif yang menganggap kerajaan sebagai institusi suci.
 

Penulis : Tussie Ayu Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Associated Press, BBC, Radio New Zealand


TERBARU