Pol Pot, Anak Petani Kamboja yang Menghancurkan Negerinya Sendiri, Akhir Hidupnya Tragis
Kompas dunia | 12 Mei 2023, 10:43 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Menyebut nama Kamboja tak bisa dipisahkan dari sosok kontroversial bernama Saloth Sar alias Pol Pot. Anak petani kaya ini lahir pada 19 Mei 1925 di kawasan Prek Sbauv dan meninggal pada 15 April 1998.
Karena kaya dia bisa masuk ke sekolah elite di sana. Bahkan pernah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Prancis. Namun di Prancis dia tidak menyelesaikan kuliahnya, justru bergabung dengan Partai Komunis di sana dan sebuah organisasi komunis rahasia yang bernama "Lingkaran Marxis".
Pulang ke tanah airnya pada 1953, Pol Pot menjadi guru sekaligus tetap aktif di partai komunis. Pada 1963, dia berhasil menjadi pemimpin Partai Komunis Kamboja (PKK). Pada 1968, ia memulai perang melawan pemerintahan Raja Norodom Sihanouk.
Setelah Lon Nol menggulingkan Sihanouk dalam kudeta tahun 1970, pasukan Pol Pot berpihak dengan Sihanouk melawan pemerintahan baru yang didukung oleh militer Amerika Serikat.
Baca Juga: Indonesia vs Kamboja 2-1, Beckham Putra: Tadi Adalah Show Saya
Haing Ngor, warga Kamboja yang menuliskan kisah ini dalam buku "Neraka Kamboja" (penerbit Gramedia 1990) membeberkan, "Bermula dari kudeta terhadap Pangeran Norodom Sihanouk yang dilancarkan oleh Pangeran Sisowath Sirik Matak dan Jenderal Lon Nol di bulan Maret 1970, dengan cepat negeri Kamboja yang semula dijuluki "Pulau Damai" di tengah kancah perang Vietnam segera terseret ke dalam arus pergolakan di kawasan itu. Lima tahun kemudian, tepatnya tanggal 17 April 1975, Phnom Penh jatuh ke tangan gerilyawan Komonis Khmer Merah."
Sejak itu, warga Kamboja seolah hidup dalam "neraka". Pol Pot yang duduk sebagai perdana menteri dan Sekjen Partai Komunis mengubah masyarakat Kamboja jadi masyarakat agraris dengan cara dipaksa.
Masyarakat dipaksa pulang ke desa untuk menggarap sawah. Baju hanya dikenal satu warna, hitam. Namun kebijakan "tahun nol" ini telah membawa rakyat Kamboja ke jurang kehancuran bahkan genosida. Di tahun nol, semua budaya, tradisi yang tidak sesuai dengan kebijakan paham komunis harus dibuang dan dihancurkan.
"Beberapa malam dalam seminggu pemimpin desa mengadakan acara rapat indoktrinasi politik yang harus dihadiri semua orang. Seperti kebanyakan anggota Khmer Merah, pemimpin itu memakai nama baru untuk menunjukkan bahwa ia memiliki identitas baru yang revolusioner. Ia menamakan dirinya Mao, mungkin meniru Mao Zedong dari Cina itu. Ia orang yang tidak berpendidikan dan selalu memakai seragam Khmer Merah yang biasa, celana dan baju hitam model piama," tulis Ngor menggambarkan sosok orang yang memberikan indoktrinasi komunis ke warga desa.
"Saat itu, segala kesejahteraan hidup sebelum revolusi sudah menjadi seakan mimpi yang hanya samar-samar membekas dalam ingatan. Kakiku tidak mengenal sepatu lagi. Pakaianku compang-camping, dan tulang-tulang rusukku bertonjolan karena aku selalu kurang makan," kisah Ngor pada bagian awal.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV