Brutalnya Hujan Artileri Rusia di Donbass: Kesaksian dari Penyintas Ukraina di Garis Depan
Krisis rusia ukraina | 20 Juni 2022, 16:24 WIBDNIPRO, KOMPAS.TV - Setelah gagal merebut Kiev, Rusia menggunakan pendekatan berbeda untuk memenangi pertempuran Donbass. Moskow cenderung mengandalkan serangan artileri untuk melumat pasukan Ukraina sejak memulai operasi Donbass pada pertengahan April lalu.
Menurut laporan The New York Times, 10 Juni lalu, seorang penasihat komando militer Ukraina mengeklaim Rusia menembakkan 60.000 peluru artileri dan roket per hari dalam pertempuran Donbass.
Sebaliknya, Kiev yang memiliki sumber daya lebih kerdil, “hanya” menembakkan 5.000-6.000 peluru artileri per hari.
Alhasil, korban jiwa terus berjatuhan di pihak Ukraina. Pada Sabtu (19/6), The Guardian melaporkan bahwa jumlah korban jiwa di pihak Ukraina akibat artileri bisa mencapai 200 serdadu per hari. Jumlah korban luka pun diperkirakan sekitar 800 orang.
Di garis depan Donbass, pasukan Ukraina dilaporkan mesti bertahan di jejaring parit dengan sedikit harapan. Setiap saat peluru artileri dapat menghujani mereka. Tak ada kesempatan membalas, posisi baterai artileri terlalu jauh dari jangkauan senapan.
Baca Juga: Pertempuran Donbass Dapat Menentukan Akhir Perang Rusia-Ukraina
Cerita seperti demikian menimpa Oleksandr, relawan militer berusia 36 tahun. Sebelum perang meletus, ia bekerja sebagai teknisi listrik di Gdansk, Polandia.
Kemudian, ia mendaftar ke pasukan pertahanan Ukraina lalu diposkan di suatu parit setinggi dada orang dewasa dalam pertempuran Donbass pada 10 Mei.
Perang Oleksandr hanya berlangsung seminggu. Ledakan artileri membuatnya terbaring di rumah sakit sebulan belakangan.
“Kami selalu ditembaki (artileri) sehari penuh. Tidak ada 10 menit pun terlewat tanpa serangan Rusia. Setiap hari satu orang terbunuh dan yang lain terluka. Benar-benar kekalahan yang besar,” kata Oleksandr kepada The Guardian.
Total, Oleksandr hanya menghabiskan enam hari di medan perang. Pada 16 Mei, perangnya telah selesai.
Ketika berjaga di dekat Avdiivka, Donbass, sebuah drone Rusia melayang di atas posisi Oleksandr. Pasukan Rusia tahu lokasinya. Tak lama kemudian, hujan artileri menggempur.
Oleksandr merasa lengan kanannya seperti “disambit batu.” Namun, setelah memeriksa, apa yang terjadi jauh lebih buruk.
“Saya melihat ke lengan saya dan coba menggerakkan tangan. Ia tak bisa bergerak, cuma menggantung,” kata Oleksandr.
Dengan terburu-buru, Oleksandr membebat turniket ke lengannya dan mundur dari garis pertahanan.
Baca Juga: Ukraina Akui Makin Kehilangan Wilayah Desa di Sekitar Sievierodonetsk
Oleksandr kemudian dilarikan ke Dnipro, sekitar empat jam perjalanan darat dari Avdiivka. Dokter memasangi lengan kanannya dengan empat pin untuk menyambung perancah.
Oleksandr menyampaikan, tembakan senjata berat Ukraina hanya “satu berbanding 10” dari Rusia. Sepengakuannya, pasukan Ukraina sepertinya hampir tak punya harapan melawan balik.
Senapannya tak mampu menjangkau unit artileri, Rusia pun tak kunjung menerjunkan pasukan darat untuk merebut wilayah yang dijaganya.
“Tak ada orang untuk ditembak,” katanya.
Kondisi itu membuat Oleksandr merasa hanya mengemban satu misi: berjaga di garis pertahanan, berupaya bertahan hidup di tengah teror ledakan.
“Saya memakai helm setiap waktu. Dan saya yakin, kapan pun saya melepasnya, rambut saya akan beruban semua,” kata Oleksandr.
Baca Juga: Pasukan Rusia Perketat Kepungan di Dua Kota Strategis Ukraina Timur
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV/The Guardian