> >

Menurut Survei University of California, Mayoritas Muslim di AS Alami Islamofobia

Kompas dunia | 2 Oktober 2021, 11:46 WIB
Ilustrasi. Survei yang diadakan Othering & Belonging Institute, University of California, Berkeley, AS menemukan sebanyak 67,5 persen muslim di AS mengaku mengalami islamofobia. (Sumber: Imad Alassiry on Unsplash)

BERKELEY, KOMPAS.TV – Lebih dari dua pertiga muslim di Amerika Serikat (AS) mengaku mengalami islamofobia. Persentasenya lebih tinggi di kalangan muslim perempuan.

Survei yang diadakan oleh Othering & Belonging Institute, University of California, Berkeley, AS menemukan sebanyak 67,5 persen responden mengatakan mengalami islamofobia, yang didefinisikan sebagai “tindakan-tindakan yang berakar dari bias, prasangka, kebencian dan/atau pengucilan terhadap muslim atau mereka yang dianggap muslim.”

Persentase pada muslim laki-laki sebesar 58,6 persen. Sedangkan persentase pada perempuan jauh lebih tinggi yaitu 76,7 persen.

Meski hanya dua pertiga dari muslim di AS yang mengaku mengalami islamophobia, sebanyak 93,7 persen responden mengatakan islamophobia mempengaruhi kesehatan mental dan emosi mereka.

“Ini bisa jadi menunjukkan bahwa bahkan jika seorang muslim tidak secara langsung menjadi target tindakan islamofobia, islamofobia yang meluas di media dan budaya kita setelah 9/11 telah menciptakan atmosfer di mana muslim merasa mereka diawasi, dihakimi, atau dikucilkan,” kata Elsadig Elsheikh, direktur program Global Justice di Othering & Belonging Institute dalam siaran pers yang dirilis 29 September 2021.

Baca Juga: Amerika Serikat Tandai Era Baru Pasca Afghanistan: Berhenti Paksakan Kehendak atas Bangsa Lain

“Sebagaimana survei kami menunjukkan, islamophobia berimplikasi besar terhadap bagaimana muslim di AS berhubungan dengan masyarakat, dan halangan-halangan yang mereka alami untuk merasa diterima,” katanya lagi.

Survei tersebut diadakan dua dekade setelah serangan 11 September atau 9/11 yang diikuti dengan gelombang kejahatan yang bersumber dari kebencian (hate crimes) dan memicu kebijakan-kebijakan pemerintah yang menargetkan warga muslim.

Sebanyak 1.123 muslim berpartisipasi dalam survei yang diadakan pada 14 Oktober-2 November 2020 itu.

Para partisipan tinggal dan/atau bekerja di AS, baik warga negara ataupun bukan warga negara dan berasal dari berbagai latar belakang usia, etnis, dan tingkat pendidikan.

Dengan populasi muslim di AS yang diperkirakan berjumlah sekitar 3,5 juta orang, jumlah partisipan tersebut memiliki margin of error +/- 2,9 persen.

Sebanyak 62,7 persen mengaku mengalami sendiri atau tahu seseorang yang terdampak oleh kebijakan-kebijakan pemerintah federal dan/atau negara bagian yang menargetkan muslim.

Baca Juga: Amerika Serikat Resmi Tarik Seluruh Pasukan dari Afghanistan, Taliban Nyalakan Kembang Api

Sebanyak 32,9 persen responden mengaku pernah menyembunyikan identitas muslim mereka. Sedangkan 88,2 persen mengaku menyensor ucapan atau tindakan mereka karena khawatir dengan reaksi orang lain.

Anak-anak muda berusia 18-29 tahun lebih cenderung ketimbang kelompok umur lainnya, untuk menyembunyikan identitas keagaaman mereka yaitu sebesar 44,6 persen.

Meski demikian, hampir semua partisipan yaitu 99,1 persen, menilai keberagaman budaya di AS sebagai sesuatu yang baik. Sebanyak 99 persen mengatakan semua ras dan etnis mesti diperlakukan sama.

“Tidak semuanya buruk,” kata Basima Sisemore, salah satu peneliti dalam survei tersebut.

“Salah satu temuan yang menggembirakan dari survei kami adalah walaupun terdapat iklim kebencian secara umum, warga muslim mengungkapkan keinginan untuk terlibat dan berinteraksi secara rutin dengan nonmuslim, dan percaya dengan cita-cita kemajemukan dan kesetaraan,” imbuhnya.

Penulis : Edy A. Putra Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV/Othering & Belonging Institute


TERBARU