Maladewa di Antara Pendapatan Turisme dan Krisis Iklim
Kompas dunia | 27 September 2021, 20:31 WIBNEW YORK, KOMPAS.TV - Dilema membayangi Maladewa dan negara-pulau kecil lain anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Banyak negara dengan karakteristik seperti Maladewa sangat rentan terhadap krisis iklim.
Di lain sisi, mereka mengandalkan pendapatan dari sektor turisme yang berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim.
Laju perubahan iklim membuat negara-negara itu diliputi dilema mengkhawatirkan, pilih mata pencaharian (turisme) atau kehidupan?
Kegelisahan ini disampaikan perwakilan Maladewa di Sidang Umum PBB pada pekan lalu. Krisis iklim merupakan salah satu tema utama dalam sidang yang berlangsung di New York, Amerika Serikat (AS) ini.
Baca Juga: Biden Ajak Semua Negara Atasi Masalah Global, Perubahan Iklim, hingga Pelanggaran HAM
Presiden Maladewa Ibrahem Mohamed Solih mendesak majelis negara-negara untuk lebih serius menghadapi krisis iklim.
“Perbedaan (kenaikan suhu) antara 1,5 derajat dan 2 derajat adalah hukuman mati bagi rakyat Maladewa,” kata Solih dalam Sidang Umum PBB sebagaimana dikutip Associated Press.
Akan tetapi, Maladewa juga tak bisa semata menghentikan industri turisme. Sektor yang menyasar turis-turis asing ini merupakan pendapatan utama negara tersebut. Hal yang sama berlaku pada negara-pulau kecil yang lain.
PBB sendiri mengkategorikan 38 negara sebagai negara-pulau berkembang kecil. Negara-negara itu dikelompokkkan berdasarkan “sosial, ekonomi, dan tantangan lingkungan hidup yang khusus”.
Kelompok ini rentan terhadap krisis iklim sekaligus amat bergantung pada turisme. Sektor turisme sendiri disebut bertanggung jawab atas 8 persen dari total emisi karbon dioksida global.
Siklus yang dihadapi negara-negara itu amat mengkhawatirkan. Negara-negara itu butuh turisme, yang mana memperparah krisis iklim, yang kemudian menghancurkan lanskap geografis mereka yang selama ini menjadi daya tarik turisme.
Bahkan, akibat krisis iklim, negara-negara kecil yang memiliki daratan rendah dapat tenggelam sepenuhnya pada akhir abad ini.
PBB disebut belum serius mempertimbangkan nasib negara-pulau kecil di tengah krisis iklim. Menurut April Baptiste, profesor studi lingkungan hidup dari Universitas Colgate AS, problem negara-pulau kecil telah dibiarkan selama bertahun-tahun karena mereka dianggap “tidak diperlukan”.
Pasalnya, negara-negara ini memiliki area yang kecil, juga kekuatan politik dan finansial yang tak begitu diperhitungkan. Beberapa negara-pulau juga memiliki sejarah eksploitasi selama berabad-abad oleh negara-negara “Dunia Pertama”.
“Anda memiliki lapisan ras, rasisme, serta marginalitas yang harus dipertimbangkan. Saya yakin itulah alasan utama mengapa negara-pulau berkembang kecil ini tak diperhatikan secara serius,” kata Baptiste.
Sidang Umum PBB pun diharapkan menjadi momentum untuk awal kebijakan yang lebih tegas terkait nasib negara-negara tersebut beserta problem krisis iklim yang mengancam.
“Negara-negara yang telah terindustrialisasi punya kewajiban untuk membantu negara-negara yang paling terdampak perubahan iklim, karena mereka lah biang keladinya,” tegas Perdana Menteri Antigua dan Barbuda Gaston Browne.
Baca Juga: PBB Desak Pemimpin Dunia Tingkatkan Upaya Perangi Perubahan Iklim
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Associated Press