> >

Laporan Costs of War Project: Kontraktor-Kontraktor Raup Untung dari Situasi Pascaserangan 9/11

Kompas dunia | 14 September 2021, 16:42 WIB
Helikopter tempur CH-47 Chinook dari Brigade Penerbangan Tempur ke-82, Divisi Lintas Udara ke-82 dimuat ke C-17 Globemaster III Angkatan Udara AS di Bandara Internasional Hamid Karzai di Kabul, Afghanistan, Sabtu, 28 Agustus 2021. (Sumber: U.S. Central Command via AP)

JAKARTA, KOMPAS. TV - Sebuah laporan yang dirilis Senin (13/9/2021) mengungkapkan, Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) atau Pentagon telah menghabiskan anggaran sebesar 14 triliun dolar sejak perang di Afghanistan dimulai pada 2001 menyusul terjadinya serangan teroris 11 September atau 9/11. Sepertiga hingga setengah dari angka tersebut mengalir ke kontraktor-kontraktor korporasi.

“Secara total, pengeluaran Pentagon sejak tahun fiskal 2001 mencapai 14,1 triliun dolar (diukur dengan menggunakan nilai dolar 2021). Dari angka ini, 4,4 triliun dolar digunakan untuk pengadaan senjata serta riset dan pengembangan (R&D), kategori yang terutama menguntungkan kontraktor-kontraktor korporasi,” bunyi laporan yang bertajuk “Profits of War: Corporate Beneficiaries of the Post-9/11 Pentagon Spending Surge” yang merupakan bagian dari Costs of War Project Brown University, AS.

“Seperempat hingga sepertiga dari seluruh kontrak Pentagon dalam beberapa tahun terakhir mengalir ke hanya lima kontraktor persenjataan besar: Lockheed Martin, Boeing, General Dynamics, Raytheon, dan Northrop Grumman.”

Menurut laporan tersebut, kelima perusahaan itu menerima kontrak-kontrak senilai lebih dari 286 miliar dolar di tahun fiskal 2019 dan tahun fiskal 2020 saja.

Sebagai gambaran, nilai kontrak yang diterima Lockheed Martin dari Pentagon di tahun fiskal 2020 sebesar 75 miliar dolar. Angka tersebut mencapai lebih dari 1,5 kali anggaran Departemen Luar Negeri AS dan Badan untuk Pembangunan Internasional AS di tahun tersebut yang totalnya sebesar 44 miliar dolar.

Baca Juga: Militer AS Lakukan Serangan Udara ke Taliban, Bentuk Dukungan untuk Tentara Afghanistan

Laporan yang ditulis William D. Hartung itu juga menyebutkan, pihak-pihak yang meraup keuntungan finansial dari membengkaknya anggaran militer AS pascaserangan 9/11 tidak hanya kontraktor-kontraktor senjata.

Tetapi juga perusahaan-perusahaan logistik dan rekonstruksi seperti Kellogg, Brown and Root (KBR) dan Bechtel, hingga kontraktor keamanan swasta seperti Blackwater dan Dyncorp.

“Banyak perusahaan yang mengambil keuntungan dari kondisi masa perang, yang menuntut pengiriman cepat dan kerap melibatkan kurang ketatnya pengawasan, mengenakan biaya terlalu tinggi kepada pemerintah atau terlibat dalam penipuan,” bunyi laporan tersebut.

Meski AS telah mengurangi aktivitas militernya di Irak dan Afghanistan, laporan tersebut memperkirakan, kontraktok-kontraktor akan terus meraup untung dari aktivitas militer AS di luar negeri.

Hal itu lantaran militer AS masih akan terlibat dalam operasi-operasi kontraterorisme di lebih dari 85 negara, mempertahankan ratusan pangkalan militernya di seluruh dunia, terlibat dalam pembangunan pangkalan baru di sejumlah wilayah seperti Guam dan Kepulauan Mariana, dan terus berperan sebagai negara pemasok senjata terbesar di dunia.

Laporan tersebut memperkirakan, China akan dijadikan alasan selanjutnya untuk menjaga agar anggaran Pentagon tetap tinggi.

“Estimasi yang dilebih-lebihkan tentang militer China telah menjadi alasan baru dalam argumen untuk menjaga anggaran Pentagon tetap berada di tingkat yang tinggi.”

Industri persenjataan, kata laporan tersebut, memiliki banyak cara untuk mempengaruhi pembuatan keputusan dalam pembahasan anggaran Pentagon, salah satunya melalui lobi.

“Para pembuat senjata telah menggelontorkan 2,5 miliar dolar dalam dua dekade terakhir untuk melobi, dengan mempekerjakan rata-rata 700 pelobi lebih per tahun dalam lima tahun terakhir, lebih dari satu untuk setiap anggota Kongres.”

Baca Juga: Biden Bela Proses Penarikan Pasukan AS di Afghanistan

Selain itu, menurut laporan tersebut, empat dari lima Menteri Pertahanan AS yang terakhir berasal dari salah satu dari lima besar kontraktor senjata.

Mereka adalah mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Donald Trump, James Mattis (anggota direksi General Dynamics), Patrick Shanahan (eksekutif di Boeing), Mark Esper (Kepala Hubungan Pemerintah di Raytheon), dan Menteri Pertahanan era Presiden Joe Biden, Lloyd Austin (anggota direksi Raytheon Technologies).

Penulis : Edy A. Putra Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Associated Press


TERBARU