Tertipu Hidup 'Surga di Bumi' Selama Puluhan Tahun, Warga Jepang Gugat Pemerintah Korea Utara
Kompas dunia | 8 September 2021, 03:05 WIBTOKYO, KOMPAS.TV – Warga Jepang yang berhasil melarikan diri dari Korea Utara menggugat pemerintah Korea Utara karena telah berbohong hingga mengakibatkan mereka hidup menderita selama puluhan tahun.
Pada 1960-an, sekitar 97 ribu warga Jepang dijanjikan kehidupan ala 'surga di Bumi' di Korea Utara. Namun kenyataannya, mereka justru hidup dalam kelaparan, represi, dan kehilangan.
“Kami diberi tahu bahwa kami akan pergi ke 'surga di Bumi', bahwa kami akan memiliki apartemen sendiri, juga pekerjaan, dan bahwa rumah sakit dan sekolah gratis,” ujar Hiroko Saito yang kini berusia 80 tahun, seperti dilansir dari Deutsche Welle, Selasa (7/9/2021).
Janji ‘Surga di Bumi’
“Mereka (pemerintah Korea Utara) bilang, kami tidak perlu membawa apa-apa, karena semuanya akan disediakan,” terang Saito seraya mengimbuhkan, “Mereka terus mengatakan bahwa (Korea Utara) adalah surga.”
Pada 1950–1960an, sekitar 97 ribu etnis Korea yang tinggal di Jepang bersama pasangan mereka – banyak di antaranya adalah warga Jepang, dipaksa untuk kembali ke Korea Utara.
Chongryun, organisasi perwakilan warga Korea Utara di Jepang, berupaya meyakinkan, menekan sekaligus menjanjikan standar kehidupan yang jauh lebih baik bila mereka kembali ke tanah air Korea Utara.
Saito yang lahir tahun 1941, menikah dengan seorang putra imigran dari negara yang kemudian menjadi Korea Utara pasca Perang Dunia ke-2.
Pada 1961, perwakilan Chongryun mulai menekan keluarga suaminya untuk kembali ke Korea Utara. Saat mereka diiming-imingi gambar-gambar indah rumah hunian luas dan lengkap dengan furnitur dan perabotan modern, keluarga Saito pun mulai melunak. Apalagi, mereka juga dijanjikan dapat kembali ke Jepang apabila gagal menetap dalam waktu 3 tahun.
Saat kapal yang membawanya beserta ratusan warga lainnya merapat di pelabuhan di kota Chongjin di Korea Utara, Saito tersadar bahwa ia telah termakan tipu daya pemerintah negara itu.
Dari atas dek kapal, ia melihat seorang bocah lelaki dengan baju atasan yang compang-camping. Selain sehelai baju itu, si bocah yang tampak kurus dan kelaparan itu tak mengenakan apa-apa.
“Saat itulah saya tersadar. Saya tersadar bahwa kami telah teperdaya,” ujar Saito mengenang awal kehidupannya yang penuh penderitaan selama puluhan tahun. Apa lacur, nasi telah menjadi bubur. Semuanya sudah terlambat.
Sejak itu, Saito dan keluarganya menjalani kehidupan yang tak sesuai dengan yang dijanjikan.
Dusta ‘Surga di Bumi’ dan Daging Manusia
Kamar yang mereka tinggali tak memiliki air bersih, apalagi pakaian. Fasilitas toilet yang tersedia ada di luar ruangan dan digunakan beramai-ramai.
Saban hari, keluarga Saito hanya diberikan jatah 1,6 kg beras atau jagung. Untuk bertahan hidup, mereka pun terpaksa menjual satu demi satu barang berharga yang mereka bawa dari Jepang.
Mereka juga diwajibkan menyaksikan eksekusi bagi para pelanggar aturan yang dilakukan di depan umum.
Saat suami Saito meninggal akibat tuberkulosis pada April 1993, keluarga Saito terpaksa mencuri hasil panen dan ayam dari pertanian. Putri Saito akhirnya tertangkap karena menyelundupkan barang di pasar gelap.
Saito dan keluarganya juga turut mengalami masa lebih sulit saat Korea Utara mengalami keruntuhan ekonomi dan sistem pengantaran jatah, pula berhentinya bantuan dari negara asing. Ketika itu, sekitar 3,5 juta warga meninggal akibat kelaparan dalam rentang 1994–1998.
“Ke mana pun kami pergi, orang-orang sekarat,” ujar Saito melukiskan kondisi saat itu. “Tak ada yang bisa dimakan. Di pasar, orang-orang duduk dan tak pernah berdiri lagi. Mereka meninggal di tempat begitu saja.”
Kala itu, berembus kabar yang menyebut bahwa tersedia pasokan daging dengan harga yang tepat. Tapi menurut rumor yang beredar, imbuh Saito, daging itu adalah daging manusia.
Pyongyang Digugat
Hidup di ‘surga di Bumi’ jadi tak tertahankan lagi bagi Saito saat dua dari tiga anaknya kemudian meninggal.
Saito akhirnya berhasil melarikan diri dengan menyeberangi sungai beku yang berbatasan dengan China dan mencapai kota Yanji.
Di sana, seorang warga Jepang membantunya mendapatkan pengganti sertifikat kelahiran Jepang sebagai syarat memiliki paspor hingga ia berhasil kembali pulang ke negaranya.
Bersama 5 warga Jepang senasib lainnya, Saito yang kini tinggal di kota Yao di Prefektur Osaka, menggugat Pyongyang. Mereka menuntut kompensasi sebesar 500 juta yen (atau sekitar Rp64,7 miliar) atas penderitaan yang mereka alami. Gugatan itu akan diputuskan oleh Pengadilan Distrik Tokyo pada 14 Oktober mendatang.
“Pengadilan adalah satu-satunya cara untuk mengikat keputusan secara hukum untuk memaksa pemerintah Korea Utara untuk membayar kompensasi dan memberikan keadilan sesungguhnya bagi orang-orang ini,” terang Kenji Fukuda, pengacara yang mewakili Saito dan 4 warga Jepang yang turut menggugat.
“Kami juga berharap, kasus ini dapat memberikan tekanan politis pada Pyongyang agar mengizinkan mereka yang masih ada di sana untuk pergi,” pungkas Fukuda.
Penulis : Vyara Lestari Editor : Fadhilah
Sumber : Deutsche Welle