Tertipu Hidup 'Surga di Bumi' Selama Puluhan Tahun, Warga Jepang Gugat Pemerintah Korea Utara
Kompas dunia | 8 September 2021, 03:05 WIBDusta ‘Surga di Bumi’ dan Daging Manusia
Kamar yang mereka tinggali tak memiliki air bersih, apalagi pakaian. Fasilitas toilet yang tersedia ada di luar ruangan dan digunakan beramai-ramai.
Saban hari, keluarga Saito hanya diberikan jatah 1,6 kg beras atau jagung. Untuk bertahan hidup, mereka pun terpaksa menjual satu demi satu barang berharga yang mereka bawa dari Jepang.
Mereka juga diwajibkan menyaksikan eksekusi bagi para pelanggar aturan yang dilakukan di depan umum.
Saat suami Saito meninggal akibat tuberkulosis pada April 1993, keluarga Saito terpaksa mencuri hasil panen dan ayam dari pertanian. Putri Saito akhirnya tertangkap karena menyelundupkan barang di pasar gelap.
Saito dan keluarganya juga turut mengalami masa lebih sulit saat Korea Utara mengalami keruntuhan ekonomi dan sistem pengantaran jatah, pula berhentinya bantuan dari negara asing. Ketika itu, sekitar 3,5 juta warga meninggal akibat kelaparan dalam rentang 1994–1998.
“Ke mana pun kami pergi, orang-orang sekarat,” ujar Saito melukiskan kondisi saat itu. “Tak ada yang bisa dimakan. Di pasar, orang-orang duduk dan tak pernah berdiri lagi. Mereka meninggal di tempat begitu saja.”
Kala itu, berembus kabar yang menyebut bahwa tersedia pasokan daging dengan harga yang tepat. Tapi menurut rumor yang beredar, imbuh Saito, daging itu adalah daging manusia.
Pyongyang Digugat
Hidup di ‘surga di Bumi’ jadi tak tertahankan lagi bagi Saito saat dua dari tiga anaknya kemudian meninggal.
Saito akhirnya berhasil melarikan diri dengan menyeberangi sungai beku yang berbatasan dengan China dan mencapai kota Yanji.
Di sana, seorang warga Jepang membantunya mendapatkan pengganti sertifikat kelahiran Jepang sebagai syarat memiliki paspor hingga ia berhasil kembali pulang ke negaranya.
Bersama 5 warga Jepang senasib lainnya, Saito yang kini tinggal di kota Yao di Prefektur Osaka, menggugat Pyongyang. Mereka menuntut kompensasi sebesar 500 juta yen (atau sekitar Rp64,7 miliar) atas penderitaan yang mereka alami. Gugatan itu akan diputuskan oleh Pengadilan Distrik Tokyo pada 14 Oktober mendatang.
“Pengadilan adalah satu-satunya cara untuk mengikat keputusan secara hukum untuk memaksa pemerintah Korea Utara untuk membayar kompensasi dan memberikan keadilan sesungguhnya bagi orang-orang ini,” terang Kenji Fukuda, pengacara yang mewakili Saito dan 4 warga Jepang yang turut menggugat.
Penulis : Vyara Lestari Editor : Fadhilah
Sumber : Deutsche Welle