Para Saksi Mata Mengaku Trauma Menyaksikan George Floyd Sekarat Hingga Meninggal Dunia
Kompas dunia | 3 April 2021, 00:54 WIBMINNEAPOLIS, KOMPAS.TV – Hari-hari awal persidangan mantan polisi Minneapolis, Derek Chauvin, yang didakwa telah membunuh George Floyd didominasi oleh keterangan para saksi mata yang menyaksikan penangkapannya. Seperti dilansir dari The Associated Press pada Jumat (2/4/2021), para saksi mata mengaku trauma saat menyaksikan kembali rekaman aksi kekerasan polisi hingga mengakibatkan Floyd tewas.
Seorang lelaki yang meneriakkan, “Kau tak akan bisa menang!” pada Floyd saat ia bergulat dengan polisi demi memperjuangkan nyawanya, menundukkan kepalanya dan menangis terisak saat memberikan kesaksiannya. Seorang remaja perempuan yang merekam video aksi kekerasan yang dialami Floyd, menangis saat ia berbicara tentang rasa bersalahnya lantaran tak mampu menolong Floyd. Seorang anggota pemadam kebakaran yang terlatih sebagai teknisi medis darurat juga menangis saat ia menggambarkan rasa frustasinya karena dicegah polisi saat hendak menyelamatkan nyawa Floyd. Kasir muda yang melaporkan Floyd lantaran curiga Floyd menggunakan lembaran dolar palsu untuk membeli rokok – sang kasir kemudian segera menelpon polisi – pun mengaku merasa bersalah saat ia menyaksikan Floyd meregang nyawa.
Baca Juga: Paramedis Menyuruh Polisi Menyingkir saat Akan Menolong George Floyd: Saya Ingin Ia Selamat
Baca Juga: Sidang Kasus Kematian George Floyd, Kasir yang Melaporkannya Masih Merasa Bersalah
Kesaksian para saksi mata ini menimbulkan sejumlah pertanyaan tentang bagaimana para saksi mata yang mengalami trauma diperlakukan saat mereka berpartisipasi dalam sistem peradilan kriminal.
Profesor hukum kriminal Sekolah Hukum New York, Kirk Burkhalter, mengatakan, kesaksian para saksi mata merupakan pengingat yang kuat tentang pelanggaran yang dilakukan polisi merupakan pengkhianatan bagi seluruh msyarakat.
Baca Juga: Petugas Pemadam Kebakaran Mengaku Dihalangi Polisi saat Ingin Memeriksa George Floyd
“Orang-orang ini hidup dengan kepedihan ini selama setahun, tanpa sepengetahuan kita,” ujar Burkhalter yang juga mantan detektif yang memimpin program reformasi polisi. “Mereka merupakan korban kejahatan. Kita tidak boleh lupa itu. Mereka berusaha melakukan tugas sipil mereka dan mereka dicegah untuk melakukannya.”
Pernyataan pembelaan Chauvin yang menyatakan bahwa para saksi mata merupakan bagian kerumunan yang berbahaya, kian menambah kepedihan yang dirasakan mereka.
Sayangnya, menurut Burkhalter, para saksi mata kemungkinan tidak dianggap sebagai korban kejahatan. Lantaran, hukum biasanya tidak mengenali kondisi emosional yang dialami para saksi mata sebagai kerugian.
Berdasarkan hukum Minnesota, korban didefinisikan sebagai siapa saja yang mengalami “kerusakan atau kerugian sebagai akibat sebuah kejahatan, termasuk upaya dengan niat baik untuk mencegah kejahatan”. Beberapa saksi mata bersaksi mereka telah berupaya mencegah Chauvin menggunakan kekerasan terhadap Floyd, dan bahkan menelepon polisi untuk melaporkan aksinya. Mereka juga menggambarkan kerugian emosional yang mereka alami.
Baca Juga: Keluarga George Floyd, Korban Pembunuhan Polisi Akan Diberikan Rp388 Miliar oleh Kota Minneapolis
Perbedaan hukum antara saksi mata dan korban adalah penting. Korban memiliki hak dalam kasus kriminal, termasuk hak untuk diberitahu dan menolak setiap kesepakatan pembelaan yang diusulkan.
Para saksi mata kejahatan kemungkinan dapat memanfaatkan bantuan konseling kesehatan mental dan manfaat lainnya dari Dewan Pemulihan Korban Kejahatan Minnesota.
Namun, juru bicara Departemen Keselamatan Publik Minnesota Doug Neville menyebut, kelayakan penerimaan bantuan bergantung pada kondisi perorangan dan diputuskan kasus per kasus. Jika disetujui, mereka dapat menerima bantuan konseling dan layanan pemulihan senilai hingga USD 7.500 (atau setara dengan Rp 109 juta).
Penulis : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV