Militer Myanmar Kepada Utusan Khusus PBB: Kami Siap Menghadapi Sanksi dan Isolasi
Kompas dunia | 4 Maret 2021, 08:51 WIBNEW YORK, KOMPAS.TV - Militer Myanmar mengatakan akan menghadapi sanksi dan isolasi setelah kudeta 1 Februari, tutur Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener hari Rabu (3/3/2021) setelah berkomunikasi dengan pihak militer Myanmar, Tatmadaw.
Seperti dilansir Reuters, Kamis (04/03/2021), PBB mendesak negara-negara untuk "mengambil tindakan yang sangat kuat" untuk memulihkan demokrasi di negara Asia Tenggara itu.
Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan 38 orang tewas pada Rabu, (03/03/2021), hari paling berdarah sejak militer Myanmar menggulingkan pemerintahan sipil yang sah, pada hari dimana pemerintahan baru hasil pemilu November tahun lalu akan dilantik, 1 Februari lalu.
Baca Juga: Korban Tewas di Myanmar Mencapai 38 Orang, PBB: Hari Paling Berdarah Sejak Kudeta
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintahan dan menahan seluruh pemimpin politik sipil yang berlawanan dengan militer seperti Aung San Suu Kyi dan jajaran pemimpin Liga Nasional Untuk Demokrasi NLD, yang memenangkan pemilu November lalu.
Militer menuding pemilu November lalu penuh kecurangan, sementara KPU Myanmar melihat tidak ada bukti kuat kecurangan massal dan pemilu dianggap sudah berlangsung adil.
Schraner Burgener mengatakan, dalam percakapannya dengan deputi pemimpin tertinggi dewan militer Myanmar Soe Win, dia sudah memberi peringatan militer Myanmar akan menghadapi tekanan keras dari banyak negara serta isolasi sebagai reaksi atas kudeta.
Baca Juga: Korban Tewas Sudah 33 Orang, Rakyat Myanmar Terus Melawan Kekerasan Aparat Dengan Heroik
Jawabannya adalah, tutur Schraner Burgener,"Kami terbiasa dengan sanksi, dan kami selama ini bertahan," tutur Schraner Burgener di New York.
"Saat diperingatkan militer Myanmar akan menghadapi isolasi, jawabannya adalah: 'kami harus belajar untuk berjalan dengan sedikit kawan'," tambah Schraner.
Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Uni Eropa sudah menerapkan sanksi terukur untuk menjepit militer Myanmar dan sekutu bisnis mereka.
15 anggota Dewan Keamanan PBB sudah menyuarakan kekhawatiran mereka atas status keadaan darurat yang ditetapkan di Myanmar, namun belum mengecam dan mengutuk kudeta bulan lalu karena penentangan dari Rusia dan China, yang melihat perkembangan situasi adalah masalah dalam negeri Myanmar.
Baca Juga: Enam Wartawan di Myanmar Terancam Hukuman Tiga Tahun Penjara
Karena hal itu, kecil kemungkinan adanya tindakan DK PBB selain sebuah pernyataan saja, tutur kalangan diplomat.
"Saya harap mereka melihat hal itu bukan hanya sebagai masalah dalam negeri, namun juga menghantam stabilitas wilayah," tutur Schraner Burgener menanggapi China dan Rusia.
Schraner mengatakan, Soe Win berkata pada dirinya,"Setelah satu tahun mereka ingin menggelar pemilu baru,". Namun Schraner Burgener terakhir bicara dengan Soe Win tanggal 15 Februari lalu, dan saat ini berkomunikasi dengan militer hanya melalui surat.
"Jelas, dalam pandangan saya, taktik mereka (militer) adalah mendakwa orang-orang NLD dan memenjarakan mereka," tutur Schraner Burgener, seraya menambahkan, "Pada akhirnya, NLD akan dilarang lalu mereka (Militer) akan menggelar pemilu baru dimana mereka ingin menang, lalu setelah itu mereka bisa lanjut berkuasa,"
Baca Juga: Dubes Myanmar Untuk PBB Melawan Junta, Siapakah Kini yang Menduduki Posisi Tersebut?
Schraner Burgener mengatakan keyakinannya militer Myanmar "sangat terkejut" dengan skala perlawanan terhadap kudeta yang mereka lakukan.
"Hari ini kita lihat anak-anak muda yang hidup di alam kebebasan selama 10 tahun terakhir, yang hidup dengan media sosial, dimana mereka sangat terorganisir dan sangat penuh keyakinan," tutur Schraner Burgener seraya menekankan," mereka tidak mau kembali ke alam kediktatoran dan isolasi,"
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV