Sejarah Sritex, Produsen Seragam Tentara NATO di Solo yang Akhirnya Pailit
Ekonomi dan bisnis | 24 Oktober 2024, 10:56 WIBSOLO, KOMPAS.TV - Berikut sejarah PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang.
Sritex dinyatakan pailit setelah Pengadilan Niaga Kota Semarang mengabulkan permohonan salah satu kreditur perusahaan tekstil tersebut yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang yang sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Menurut Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang, Haruno Patriadi, putusan dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Muhammad Anshar Majid tersebut mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur PT Sritex.
"Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022," kata Haruno, Rabu (23/10/2024) dikutip dari Antara.
"Selanjutnya kurator yang akan mengatur rapat dengan para debitur," ujarnya.
Pada Januari 2022, PT Sritex digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya, yang mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan permohonan tersebut terhadap PT Sritex dan tiga perusahaan tekstil lainnya.
Kemudian, PT Sritex kembali menghadapi gugatan, kali ini dari PT Indo Bharat Rayon, yang mengeklaim bahwa Sritex tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang yang telah disepakati.
Sejarah Perusahaan Sritex
Dilansir dari laman resminya, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) memulai perjalanannya sebagai sebuah usaha kecil yang didirikan oleh H.M. Lukminto di Pasar Klewer, Solo, pada tahun 1966.
Baca Juga: Sritex Dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang
Berawal dari perusahaan perdagangan tradisional yang fokus pada kain, Sritex segera berkembang dan membuka pabrik cetak pertama pada tahun 1968, menghasilkan kain putih dan berwarna.
Memasuki dekade 1970-an, tepatnya pada tahun 1978, Sritex terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan.
Perkembangan ini menjadi langkah awal bagi pertumbuhan yang lebih signifikan, termasuk pendirian pabrik tenun pertama pada tahun 1982.
Lompatan besar terjadi pada tahun 1992, ketika Sritex memperluas operasinya dengan membangun fasilitas terpadu yang menggabungkan empat lini produksi: pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana, dalam satu atap. Hal ini memungkinkan Sritex untuk menjadi salah satu pemain utama di industri tekstil Indonesia.
Pada tahun 1994, Sritex berhasil menjadi produsen seragam militer untuk NATO dan Tentara Jerman, membuktikan kualitas produknya di pasar internasional.
Ketika krisis moneter melanda Asia pada tahun 1998, Sritex mampu bertahan dan bahkan mencatat pertumbuhan yang luar biasa, yakni delapan kali lipat lebih besar dari saat pertama kali mengintegrasikan produksinya pada tahun 1992.
Keberhasilan ini terus berlanjut hingga dekade berikutnya, di mana pada tahun 2010, Sritex berhasil menavigasi persaingan global yang semakin ketat.
Tahun 2013 menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Sritex ketika perusahaan secara resmi terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham SRIL.
Kesuksesan ini diikuti dengan sejumlah penghargaan bergengsi, termasuk pengakuan Forbes Indonesia kepada Iwan S. Lukminto sebagai Businessman of the Year pada tahun 2014 dan EY Entrepreneur of the Year dari Ernst & Young.
Sritex terus memperluas jangkauannya di pasar global dan menerima berbagai penghargaan, seperti Intellectual Property Rights Award dari WIPO pada tahun 2015 dan Top Performing Listed Companies dari Majalah Investor.
Pada tahun 2017, Sritex berhasil menerbitkan obligasi global sebesar 150 juta dolar AS, yang menandai keberlanjutan ekspansi perusahaan di panggung internasional.
Akan tetapi pada 2024, Sritex dinyatakan pailit setelah Pengadilan Niaga Kota Semarang mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang yang sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Baca Juga: PT Panamtex Menolak Putusan Pailit, Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung
Penulis : Rizky L Pratama Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV