> >

Profil Balai Pustaka, BUMN Berusia 107 Tahun yang PHK 50 Persen Karyawan

Ekonomi dan bisnis | 26 Juli 2024, 13:15 WIB
Foto Balai Pustaka. BUMN penerbitan Balai Pustaka disebut PHK 50 persen karyawannya (Sumber: Kompas/Arbain Rambey)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang percetakan, Balai Pustaka,   melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya.

Hal itu dibenarkan oleh Direktur Utama PT Balai Pustaka (Persero) Achmad Fachrodji.

"Kemarin untuk mengurangi karyawan yang terkait percetakan, kan harus dikurangi, itu (pembayaran gaji karyawan) dibantu Danareksa," ujar Fachrodji di Jakarta, Rabu (24/7/2024), dikutip dari Antara.

Balai Pusataka disebut melakukan PHK 50 persen karyawannya atau sekira 60-an orang.

Achmad mengatakan, ia tetap optimistis kinerja perusahaannya akan terus melejit setelah menjadi anggota dalam Holding Danareksa.

"Oleh karena itu, saya tidak khawatir, Balai Pustaka akan terus melejit dan terus naik," lanjutnya.

Baca Juga: Jadi Mitra Bank Pertama, Pemegang Golden Visa Bisa Buka Rekening via Livin

Fachrodji juga meyakini bahwa Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir tidak akan menutup Balai Pustaka.

Sebagai perusahaan IP-based licensing digital company, sebut Fachrodji, Balai Pustaka dapat terus berkembang dengan melakukan berbagai transformasi serta proyek-proyek dari percetakan buku dan film serta aset-aset lain yang dimilikinya.

"Jadi di tangan Pak Erick Thohir, Balai Pustaka akan semakin menggeliat," katanya.

Profil Balai Pustaka

Melansir laman resminya, Balai Pustaka berdiri sebelum Indonesia merdeka yakni tepatnya pada 22 September 1917.

Pendirian Balai Pustaka sebagai kelanjutan Commisie voor Inlandsche Scool en volklechtuur, badan yang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai sarana untuk mengontrol akses informasi penduduk asli Indonesia yang dibentuk 14 September 1908. 

Sejak berdirinya Balai Pustaka, puluhan buku dan majalah diterbitkan saat itu dalam bahasa Melayu dan berbagai bahasa daerah yaitu Jawa, Sunda, Madura, Batak, Aceh, Bugis, dan Makassar, dan ditulis dalam bahasa Melayu, Latin, Jawa, maupun Arab.

Para sastrawan dan tokoh pergerakan seperti Abdoel Moeis memanfaatkan lembaga ini  untuk membangkitkan kesadaran kebangsaan hingga lahir Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. 

Budayawan Marah Rusli, Muhammad Yamin, Idrus, Hamka, hingga Sutan Takdir Alisjahbana  juga menyebarkan pikiran kebangsaan melalui lembaga ini.

Sebelum merdeka, Balai Pustaka telah membangun sekitar 2.800 Taman Bacaan Rakyat. Selanjutnya Balai Pustaka menjadi pilar sastra dan budaya bangsa yang melibatkan sosok seperti H.B. Jassin hingga Achdiat K. Mihardja, juga menjadi sarana negara untuk menyediakan buku-buku pendidikan.

Berikut transformasi Balai Pustaka sejak 22 September 1917 hingga 22 September 2019)

14 September 1908

  • Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mendirikan Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat). 

13 Oktober 1910

  • Terbit keputusan pendirian perpustakaan untuk menyebarkan buku-buku kepada masyarakat. Perpustakaan tersebut diberi nama “Taman Poestaka”. Selain melalui perpustakaan, penyebaran karya Komisi dilakukan dengan penjualan yang dikelola Depot van Leermiddelen dan truk-truk kecil sebagai toko buku berjalan hingga ke desa-desa di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.

22 September 1917

  • Dianggap sukses, Komisi Bacaan Rakyat bertransformasi menjadi “Balai Poestaka” yang tidak hanya mengumpulkan, tetapi juga mencetak dan menerbitkan bahan bacaan. D. A Rinkes dipercaya sebagai pimpinan pertama Balai Pustaka. Tanggal ini diperingati sebagai hari lahir Balai Pustaka. Buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka beraneka ragam topik dan bahasa. Pada tahun pertama, Balai Pustaka telah menerbitkan buku dalam bahasa Melayu (31), Jawa dengan huruf latin dan arab (101), Sunda (67), Madura (22), Batak (4), Aceh (1), Bugis (1), dan Makassar (1). Topiknya mulai dari kesehatan, pertanian, teknik, kesenian, dan keterampilan.

Baca Juga: Pabrik Tutup dan PHK Ribuan Pekerja, Benarkah Ekonomi Baik-baik Saja? Ini Kata Arsjad Rasjid | ROSI

Tahun 1918

  • Balai Pustaka menerbitkan majalah Sri Poestaka, majalah mengenai pengetahuan sosial dan teknik.

Tahun 1920

  • Novel Azab dan Sengsara (Merari Siregar) terbit. Novel ini dianggap sebagai novel modern pertama dalam bahasa Indonesia.

Tahun 1922

  • Novel Sitti Nurbaya (Marah Rusli) terbit. Disebut-sebut sebagai novel paling populer dan penting di Indonesia.

Tahun 1923

  • Balai Pustaka menerbitkan majalah Pandji Poestaka, majalah dengan konsep modern yang memasang sampul berwarna cerah dan mengangkat tema-tema aktual.

Tahun 1928

  • Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Novel Salah Asuhan (Abdoel Moeis) terbit. Dianggap sebagai karya sastra Indonesia modern periode awal terbaik.

Tahun 1929

  • Novel Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) terbit.

Tahun 1930

  • Taman Poestaka sudah berdiri di 2.528 titik dengan jumlah peminjaman buku mencapai 2,7 juta.

Tahun 1936

  • Novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana) terbit.

Tahun 1942

  • Periode Pendudukan Jepang Jepang masuk ke Indonesia. Balai Pustaka diubah namanya menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku (Biro Pustaka Rakyat, Pemerintah Militer Jepang). Selama masa pendudukan Jepang, badan ini hanya menerbitkan dua buah roman: Tjinta Tanah Air (Nur Sutan Iskandar) dan Palawidja (Karim Halim). Balai Pustaka pada periode ini memiliki peran penting dalam proses transformasi penerjemahan bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia.

Tahun 1945

  • Proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Tahun 1947

  • Agresi Militer I Hampir seluruh karyawan Balai Pustaka meninggalkan Balai Pustaka karena tidak ingin bekerja sama dengan Belanda. Ejaan Suwandi mulai berlaku. Balai Poestaka menjadi Balai Pustaka.

Tahun 1948

  • Kasuma Sutan Pamuntjak menjadi pimpinan Balai Pustaka dan menggulirkan Program Lima Pasal, yang tujuan utamanya ialah memperkenalkan sastra dunia kepada masyarakat, menerbitkan karya baru para pengarang, dan mengupayakan bacaan untuk pemuda dan anak-anak.

Tahun 1949 – 1950

  • Terbit karya-karya penting dari Idrus, Achdiat Kartamihardja, Utuy Tatang Sontani, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Abdul Muis. Naskah-naskah sastra dunia mulai diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia seperti Fyodor Dostojevsky, John Steinbeck, Sinclair Lewis, Anton Chekov, Luigi Pirandello, Omar Kayyam, Guy de Maupassant, dan nama besar lainnya.

Tahun 1963

  • Balai Pustaka berubah status menjadi Perusahaan Negara (PN) Balai Pustaka dengan tetap berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tahun 1975

  • Balai Pustaka berhasil memproduksi buku sebanyak satu juta eksemplar.

Tahun 1980

  • Unit percetakan pindah dari Jl. Wahidin ke Kawasan Pulogadung, Jakarta Timur.

Tahun 1985

  • PN Balai Pustaka bertransformasi menjadi Perusahaan Umum (Perum) Balai Pustaka.

Tahun 1990

  • Balai Pustaka menjadi penerbit buku-buku pelajaran sekolah sesuai Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0689/M/1990 tentang Hak Penerbitan Buku Pelajaran dan Buku Bacaan, baik SD, SMP, maupun SMA seluruh Indonesia.

Tahun 1992

  • Balai Pustaka mulai berkantor di Gedung Balai Pustaka, Jl. Gunung Sahari.

Tahun 2013

  • Meluncurkan Balai Pustaka eBookstore. Proses transformasi digitalisasi atau multimedia mulai dilakukan. Konten pendidikan dan sastra budaya mulai dikemas dalam bentuk e-book, animasi, layar lebar, e-library.

Tahun 2016

  • Menempatkan ratusan taman bacaan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Target menjadi 1.000 taman bacaan. Muncul gagasan Kementerian BUMN yang memasukkan Balai Pustaka ke dalam klaster National Publishing News Corporation (NPNC) bersama Perum LKBN Antara dan Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).

Tahun 2022

  • PT Balai Pustaka telah resmi menjadi anggota Holding PT Danareksa (Persero) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2022.

 

Penulis : Dian Nita Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV, balaipustaka.co.id, Antara


TERBARU