> >

Pemerintah akan Beli Lagi Saham Freeport jadi 61%, Izin Diperpanjang sampai 2061

Ekonomi dan bisnis | 3 Mei 2024, 03:00 WIB
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan, pemerintah akan menambah kepemilikan saham pada PT Freeport Indonesia (PTFI). Yaitu dari 51% menjadi 61%. (Sumber: Instagram @bahlillahadalia)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan, pemerintah akan menambah kepemilikan saham pada PT Freeport Indonesia (PTFI). 

Penambahan saham akan dilakukan sebesar 10%, sehingga saham pemerintah Indonesia di Freeport akan jadi 61%. 

Pemerintah juga akan memperpanjang kontrak Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Freeport hingga 2061.

Hal tersebut disampaikan Bahlil pada saat mengisi kuliah umum di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pada Kamis (02/05).

Bahlil mengatakan, pembelian saham pemerintah pada PTFI sejalan dengan kebijakan untuk membangun hilirisasi di Indonesia, khususnya pada ekosistem kendaraan listrik.

Baca Juga: Peluang Pertemuan Jokowi-Megawati: Bahlil Sebut Jangan Buru-Buru, Hasto Bantah Tudingan Menghalangi

Dengan memiliki saham yang lebih besar, pemerintah tidak hanya diuntungkan dengan besaran dividen, tapi juga dapat mendukung kebijakan pemerintah untuk melakukan hilirisasi. 

"Sekarang Freeport sudah menjadi perusahaan milik pemerintah Indonesia, karena kita sudah mayoritas. Kita beli kurang lebih sekitar hampir USD4 miliar. Dan dari pendapatan itu, sekarang dividen 2024 itu sudah hampir lunas dengan pendapatan itu," kata Bahlil dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta. 

Dengan kepemilikan saham mayoritas di PTFI, pemerintah juga dapat dengan lebih mudah menjalankan kebijakan hilirisasi, khususnya pada komoditas tembaga. 

Kepada para mahasiswa yang hadir, ia bercerita tentang bagaimana pembangunan smelter PTFI di Gresik yang akhirnya berjalan karena adanya dorongan kuat dari pemerintah.

Baca Juga: Apindo Harap Hari Buruh 2024 Jadi Momentum Bangun Hubungan Industrial yang Harmonis

"USD3 miliar (untuk) bangun smelter di Gresik. Sekarang sudah jadi, bulan Mei (beroperasi) dan di situ kita sudah bisa produksi katoda tembaga. Dari 3 juta konsentrat yang dibawa dari Timika ke Gresik, itu menghasilkan 400 ribu ton katoda tembaga, 60 ton emas," ungkap Bahlil. 

Dalam kesempatan tersebut, Bahlil juga mengatakan bahwa perpanjangan kontrak PTFI tidak terlepas dari rencana perusahaan untuk memproduksi kawat tembaga.

Kawat tembaga merupakan produk turunan tembaga yang bisa menghasilkan nilai 24 kali lipat.

Bahlil menyebut bahwa dengan memproduksi kawat tembaga, Indonesia akan semakin dekat dalam mewujudkan ekosistem industri kendaraan listrik dari hulu ke hilir di dalam negeri.

"Nah kalau tembaganya ada, itu kita bangun pabrik mobil. Copper Wire (kawat tembaga) itu bungkus untuk baterai, jadi kita bangun ekosistemnya semua di Indonesia. Supaya kita jadi negara produsen yang disegani dunia," tuturnya. 

Baca Juga: Listyo Sigit Jelaskan Tugas Staf Ahli Ketenagakerjaan Kapolri yang Diisi Presiden KSPI Andi Gani

Bahlil kembali menegaskan tentang arah kebijakan pemerintah terkait dengan hilirisasi.

Menurutnya, negara harus mempunyai arah kebijakan yang jelas. 

"Tujuan kita berbangsa dan bernegara ini apa? Menciptakan kesejahteraan. Itu salah satu tujuan kita. Lewat apa? Mengelola sumber daya alam. Pasal 33 UUD 45," ucap Bahlil.

Mantan Ketua HIPMI itu juga mengingatkan agar Indonesia tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan hanya mengeksploitasi komoditas mentah. 

"Kita pernah mempunyai kekayaan minyak. Kita pernah masuk dalam OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi). Sekarang kita tidak termasuk lagi ke dalam OPEC, kenapa? Karena konsumsi minyak kita per hari 1 juta 500 barel per hari. Produksi kita hanya 625 ribu barel per hari. Impor kita 870 ribu barel per hari. Kita sekarang impor minyak," terangnya.

Baca Juga: Jokowi Sebut Negosiasi Kepemilikan Saham Freeport Berlangsung Alot, Target Selesai Juni 2024

Menurutnya, hal ini terjadi karena salah kebijakan. Itulah kenapa pemerintah perlu mengubah arah kebijakan dengan membangun hilirisasi. 

Tujuannya adalah untuk percepatan pertumbuhan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk menuju Indonesia yang setara dan sejahtera.

"Pada saat minyak kita banyak, kita tidak membangun hilirisasi? Apakah kita mempunyai refinery (pemurnian) yang cukup? Kita punya masa keemasan kayu. Kayu di Kalimantan, kayu di Papua, kayu di Maluku. Hebat-hebat semua. Tapi kita ekspor log (kayu gelondongan) semua," tandasnya. 

Penulis : Dina Karina Editor : Deni-Muliya

Sumber :


TERBARU