> >

Daya Beli Rakyat China Turun, Siap-Siap Produk Impor Negeri Tirai Bambu Banjiri Indonesia

Ekonomi dan bisnis | 19 Februari 2024, 05:40 WIB
Kapal tunda dan kapal pandu membantu kapal barang untuk bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (20/7/2023). (Sumber: KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, mengingatkan pemerintah Indonesia untuk mewaspadai banjir impor produk China.

Pasalnya, Negeri Tirai Bambu itu kini tengah mengalami perlambatan ekonomi.

Produksi industri manufaktur di China tidak bisa terserap oleh pasar lokal, karena daya beli masyarakatnya menurun. Sehingga bisa saja China mengekspor produk-produk itu ke luar dengan harga yang lebih murah.

”Dalam kondisi itu, China bisa saja menerapkan dumping atau menjual barang ke luar negeri dengan harga lebih murah dibandingkan dengan di dalam negeri,” kata Shinta seperti dikutip dari Kompas.id, Minggu (18/2/2024).

Baca Juga: Dubes China Temui Prabowo di Kertanegara, Sampaikan Ucapkan Selamat, Kucing Bobby Ikut Mejeng

Turunnya daya beli masyarakat dan pelemahan ekonomi China terlihat dari deflasi yang terjadi pada harga barang dan jasa di tingkat konsumen serta produsen.

Biro Statistik Nasional China mencatat, pada Januari 2024, China mengalami deflasi 0,8 persen secara tahunan. Penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) itu merupakan penurunan terbesar dalam 14 tahun terakhir atau sejak September 2009.

Kemudian harga barang dan jasa di tingkat produsen juga deflasi 2,5 persen secara tahunan. Indeks Harga Produsen (IHP) tersebut masih melanjutkan tren deflasi selama 16 bulan berturut-turut atau sejak Oktober 2022.

Shinta menuturkan, kondisi itu membuat pemerintah China menurunkan harga barang yang akan diekspornya termasuk ke Indonesia. Ia pun mendorong agar strategi, mekanisme, dan kapabilitas penyelidikan serta penegakan antidumping terhadap impor dari China perlu ditingkatkan.

Baca Juga: Imlek 2024 Akan Jadi Rekor untuk China, Diperkirakan 9 Miliar Perjalanan Bakal Terjadi

Shinta menyebut pemerintah dapat bekerja sama dengan asosiasi pengusaha terkait, untuk mendeteksi serta menyelidiki setiap gejala dumping dan predatory pricing di dalam negeri.

Predatory pricing bisa juga disebut praktik jual rugi, karena produsen akan membanderol produk mereka di bawah harga produksi, dengan tujuan mematikan para pesaingnya.

”Perlu ada sanksi dan penegakan hukum yang tegas jika praktik-praktik tersebut terbukti agar tidak merusak pertumbuhan industri nasional dan persaingan usaha yang sehat di dalam negeri,” ujar Shinta.

Saat ini, China masih menjadi negara asal impor terbesar RI dengan kontribusi 37,64 persen dari total nilai impor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor nonmigas RI pada Januari 2024 senilai 15,81 miliar dollar AS, naik 0,48 persen secara bulanan dan 1,76 persen secara tahunan.

Nilai impor nonmigas RI dari negara tersebut naik 9,26 persen secara bulanan dan 11,86 persen secara tahunan menjadi 5,95 miliar dollar AS.

Baca Juga: Ibu Kota Pindah, Jakarta Bakal Jadi Superhub Bisnis-Finansial seperti Astana di Kazakhstan

Namun, tingginya angka impor dari China tidak dibareng dengan tingginya angka ekspor dari RI ke China. Kenaikan impor itu tidak diikuti dengan kenaikan ekspor lantaran China tengah mengalami deflasi.

BPS mencatat ekspor Indonesia ke China pada Januari 2024 senilai 4,57 miliar dollar AS, turun 20,73 persen secara bulanan dan 12,92 persen secara tahunan.

Otomatis, nilai ekspor yang lebih rendah dari impor itu menyebabkan defisit neraca pedagangan RI terhadap China semakin besar. Pada Januari 2024, neraca perdagangan nonmigas RI terhadap China defisit 1,38 miliar dollar AS.

Padahal, pada Desember 2023, Indonesia masih mencatatkan surplus dagang atas China sebesar 318,7 juta dollar AS.

Baca Juga: Harga Beras di Filipina Naik saat Pasokan Melimpah dari Hasil Panen dan Impor

Senada, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengungkap sejumlah importir China mengakui permintaan dalam negeri mereka memang tengah lesu.

”Di tengah kondisi tersebut, China terus mendorong ekspor agar pertumbuhan ekonominya tidak merosot semakin dalam,” ungkap Benny.

Ia menilai pemerintah perlu segera memperbaharui dan mengoptimalkan perjanjian dagang dengan sejumlah negara.

Agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada China dan bisa membuka pasar baru di negara-negara di Asia Selatan, Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Hal itu penting mengingat era pertumbuhan ekonomi tinggi China diperkirakan segera berakhir.

Baca Juga: Bantah Istana, NasDem Sebut Surya Paloh ke Istana untuk Penuhi Undangan Makan Malam Jokowi

”Perjanjian-perjanjian dagang yang telah dimiliki RI saat ini masih belum signifikan mendongkrak ekspor RI,” ucapnya.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, sepanjang 2023, RI telah mengimplementasikan tiga perjanjian dagang. Ketiga perjanjian itu adalah Kemitraan Ekonomi Komprehensif RI-Uni Emirat Arab (IUAE-CEPA), Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), dan RI-Korea Selatan CEPA.

 

Penulis : Dina Karina Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas.id


TERBARU