Berkaca dari Gaya Hidup Mewah Pejabat Pajak, LHKPN Tak Cukup untuk Deteksi Korupsi
Kebijakan | 27 Februari 2023, 21:34 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Fenomena gaya hidup mewah pejabat pajak kini tengah menjadi perhatian publik usai eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rafael Alun Trisambodo disebut memiliki kekayaan mencapai miliaran rupiah.
Kekayaan eks pejabat pajak itu menjadi sorotan usai anaknya, Mario Dandy Satriyo, melakukan penganiayaan terhadap seorang pemuda bernama David. Mario sendiri kerap memamerkan harta sang ayah yang memiliki mobil serta motor mewah.
Tidak sedikit pihak yang merasa janggal dengan kekayaan Rafael. Mengingat, dia merupakan Kepala Bagian Umum dengan golongan eselon III.
Baca Juga: Bersih-Bersih Gaya Hidup Mewah Pejabat Pajak, Usai Kasus Mario Dandy dan Klub Moge Dirjen Pajak
Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), harta Rafael Alun Trisambodo mencapai Rp56,1 miliar. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan untuk mengusut transaksi mencurigakan Rafael Alun.
Terkait LHKPN, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT UGM) Zainur Rohman berpendapat bahwa LHKPN tak cukup untuk mendeteksi korupsi.
Menurutnya, selama ini LHKPN dilakukan untuk memenuhi formalitas semata karena diwajibkan oleh undang-undang. Sayangnya, laporan dari penyelenggara negara itu tidak diperiksa kebenaran nilainya.
“Yang disoal ini adalah kebenaran isi LHKPN. Misalnya, ada kendaraan mewah ternyata belum masuk LHKPN. Ternyata ada yang tidak dilaporkan,” kata Zainur dalam Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Senin (27/2/2023).
“Bahkan, yang sudah dilaporkan pun, kebenaran nilainya belum tentu valid sehingga memang saat ini soal kebenaran yang menjadi masalah, sehingga susah melakukan deteksi apakah seorang penyelenggara negara melakukan korupsi atau tidak,” sambung dia.
Baca Juga: Gaya Hidup Mewah Pejabat Masih Berakar Kuat, Disindir Jokowi Dikecam Sri Mulyani
Zainur juga berpendapat bahwa kemampuan KPK dalam melakukan verifikasi kebenaran dari isi LHKPN juga masih rendah. Hal ini disebabkan karena tak adanya basis data yang terintegrasi dan belum adanya instrumen hukum yang tegas.
Oleh karena itu, Zainur usul agar laporan harta kekayaan diintegrasikan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Harta kekayaan itu dapat berupa tanah, kepemilikan kendaraan, saham, reksa dana, maupun aset lainnya.
Tak hanya itu, instrumen hukum melalui Undang-Undang Perampasan Aset juga diperlukan untuk mengejar aset hasil kejahatan.
“Kalau ada profil pejabat negara yang tidak sesuai dengan gaya hidupnya, maka akan di-scan, misal gaya hidupnya jauh lebih tinggi dari penghasilan sahnya."
Baca Juga: Mahfud MD: LHKPN Rafael Alun Harus Tetap Diselidiki Meski Sudah Mundur dari ASN Kemenkeu
"Maka dengan UU Perampasan Aset, penyelenggara negara harus membuktikan secara terbalik bahwa penghasilannya berasal dari perolehan yang sah. Kalau gagal membuktikan, maka akan disita oleh negara,” jelas dia.
Untuk itu, dia mendukung disahkannya RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal agar setiap transaksi dapat termonitor oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Penulis : Fiqih Rahmawati Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV