Ongkos Transisi Energi Fosil ke EBT Sangat Mahal, Pemerintah akan Pakai APBN
Ekonomi dan bisnis | 22 Oktober 2021, 11:01 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Mahalnya ongkos transisi dari pembangkit fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) membuat Indonesia harus merogoh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Terkait hal itu, Tenaga Fungsional Peneliti Ahli Madya Badan kebijakan Fiskal (BKF) Joko Tri Haryanto mengatakan, pemerintah sedang menggodok aturan main Energy Transition Mechanism (ETM).
"Nanti mekanismenya adalah blended finance, bagaimana proses penggantian PLTU PLN tak sepenuhnya menggunakan dana APBN," jelasnya pada acara webinar Kompas Talks bertajuk Energi Terbarukan, Kamis (21/10/2021).
Wakil Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan, ada kewajiban yang harus ditanggung dari rencana memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Diketahui, hingga 2028, ada rencana menghentikan operasional 5,4 Gigawatt (GW) PLTU. Ini berpotensi menambah kompensasi 3,8 miliar dolar AS atau setara Rp53,58 triliun (kurs Rp 14.100 per dolar AS).
Salah satu pilihan untuk mempercepat early retirement yakni, mendorong akuisisi aset PLTU PLN oleh pihak ketiga melalui program pemerintah berupa ETM.
Baca Juga: PLTU Batu Bara Bakal Pensiun Dini, Pemerintah Tegaskan Semua Bebasis EBT
Pendanaannya berasal dari pajak karbon di 2022 dan APBN. "Kita masih berusaha agar early retirement PLTU soft dengan planning yang sangat holistik," ujarnya.
Sejalan dengan itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut, kontrak pembangkit listrik secara umum bersifat jangka panjang. Rencana early retirement PLTU tentu akan berdampak pada kontrak pembangkit yang beroperasi.
"Makanya kami harus berhati-hati. Jika kita melakukan early retirement, dihentikan lebih cepat dari masa kontrak, harus ada kompensasi," kata Suahasil.
Suahasil memastikan, kebutuhan dana untuk kompensasi dan penggantian pembangkit PLTU dengan EBT menjadi dasar pemerintah mengembangkan program ETM.
Sementara, Ekonom Indef Abra Talattov mengingatkan, akan ada tambahan 35.000 MW masuk dalam sistem PLN. Belum lagi ada potensi kelebihan pasokan karena permintaan menurun akibat Covid-19.
"Jangan sampai karena punya ambisi besar, tapi dalam menjalankan strategi kurang hati-hati dan salah arah sehingga transisi energi menjadi tidak berkelanjutan," kata Abra.
Baca Juga: Pemerintah Pakai Rp4,3 Triliun Uang APBN untuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV