IESR: Rencana Penetapan Tarif Pajak Karbon yang Rendah Seolah Sekadar Cantolan
Ekonomi dan bisnis | 16 September 2021, 16:32 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Rencana pemerintah menerapkan tarif emisi karbon dinilai masih belum matang. Besaran tarif pajak karbon yang dicanangkan dinilai terlalu rendah untuk mencapai tujuan pengurangan emisi karbon oleh industri.
Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, rancangan penerapan tarif emisi karbon pada RUU KUP masih belum fokus, seolah sekadar cantolan dari semua rancangan perpajakan nasional.
Baik mekanisme penerapan tarif maupun jenis produk industri yang akan dikenakan tarif belum ada dalam rancangan undang-undang tersebut. Padahal, penjelasan tersebut penting bagi kesiapan industri nasional.
Terlalu murah
Pengenaan tarif yang hanya sebesar Rp75 per kilogram CO2e, menurut Fabby, masih terlalu rendah untuk mendorong perubahan perilaku pelaku industri dan dunia usaha menuju ekonomi hijau.
“Idealnya, besaran tarif harus setara dengan perhitungan dampak sosial yang diakibatkan terlepasnya setiap kilogram emisi karbon ke udara,” ujarnya, Rabu (15/9/2021), dilansir dari Kompas.id.
Sebagai informasi, Bank Dunia merekomendasikan tarif pajak karbon untuk negara berkembang berkisar 35 dollar AS-100 dollar AS per ton atau sekitar Rp507.500-Rp1,4 juta per ton.
Sedangkan Pemerintah Indonesia menetapkan rencana tarif pajak karbon minimal Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen, yang artinya hanya 5-6 dollar AS per ton.
Baca Juga: Bappenas: Pemungutan Pajak Karbon Harus Akuntabel dan Transparan
Rencana pengenaan pajak karbon tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV/Kompas.id