Belum Dianggap Bisnis Propektif, Indonesia Masih Susah Capai Target Bauran Energi Terbarukan
Ekonomi dan bisnis | 13 Agustus 2021, 10:56 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Keinginan pemerintah untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) hingga 24 persen agaknya sulit tercapai. Pasalnya, ada problem klasik, yaitu masih sedikit lembaga pembiayaan melirik sektor energi bersih lantaran belum bisa mendatangkan keuntungan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, kendala yang kerap ditemukan pengembang EBT adalah jumlah proyek yang bankable terbatas.Itulah yang menyebabkan lembaga keuangan khususnya bank sangat berhati-hati mengucurkan pendanaan.
"Karena persepsi risiko yang tinggi terhadap proyek energi terbarukan di Indonesia," ungkapnya, Rabu (11/8/2021), seperti dikutip dari Kontan.co.id.
Pada beberapa kasus, Fabby menjelaskan bahwa kemampuan finansial swasta domestik relatif terbatas, modalnya tidak kuat, dengan ketentuan bank lokal menuntut tingkat ekuitas yang cukup tinggi (30 persen-40 persen).
"Investor lokal mengalami kesulitan memenuhi ketentuan ini," ungkapnya.
Lebih lanjut, Fabby menjelaskan, penurunan emisi karbon di sektor energi dilakukan melalui peningkatan energi terbarukan. Untuk itu, lembaga keuangan saat ini seharusnya melihat pembiayaan energi terbarukan sebagai bisnis yang prospektif.
Baca Juga: Kejar Target Energi Terbarukan, PLTS Terapung Cirata Berpotensi Kurangi Emisi Karbon 214 Ribu Ton
Dengan dukungan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang green finance, lembaga keuangan harus aktif mencari proyek-proyek energi baru dan terbarukan yang didanai.
Selain itu, mereka perlu memperkuat kapasitas internal, meningkatan kemampuan penilaian risiko dan membuat produk-produk pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan pasar Indonesia. Menurut Fabby, lembaga keuangan juga perlu menjadikan pembiayaan batubara masuk dalam exclusion list, dan memfokuskan pembiayaan ke energi bersih, energi terbarukan dan efisiensi energi.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Kamdani memaparkan, transformasi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan membutuhkan investasi lebih besar. Selain memanfaatkan alokasi keuangan publik seperti APBN, keuangan swasta sangat penting.
"Perlu dorongan dunia perbankan dan penyedia layanan keuangan untuk mengatasi implikasi strategis ini," katanya.
Namun, saat ini masih ada hambatan bagi swasta untuk berinvestasi karena kurang minatnya lembaga keuangan lokal membiayai sektor EBT. Pasalnya, suku bunga pembiayaan EBT masih tinggi.
Selain itu, investasi di sektor EBT dianggap punya risiko yang besar. Untuk diketahui, potensi EBT di Indonesia kurang lebih 418 Giga Watt yang berasal dari berbagai sumber.
Baca Juga: Pemerintah Ingin Capai Industri Berkelanjutan, Perusahaan: Insentif Saja Tak Cukup
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV/Kontan.co.id