Pemerintah Tengah Mengevaluasi Pajak Karbon untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Kebijakan | 12 Juni 2021, 20:44 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak memadai untuk membiayai upaya mitigasi perubahan iklim sesuai target pengurangan emisi gas rumah kaca.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, peran APBN sebenarnya sangat vital sebagai instrumen fiskal untuk mendorong transformasi industri hijau. Namun, keterbatasan pendanaan menjadi kendala besar untuk mewujudkan target tersebut.
Dari situ, pemerintah mencari cara lain untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon. Salah satunya mematangkan dan mengevaluasi penerapan harga karbon atau nilai ekonomi karbon (carbon pricing).
Menurut Febrio, penetapan harga karbon dalam berbagai bentuk bisa menjadi solusi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca serta menjadi sumber baru bagi pembiayaan pembangunan berkelanjutan.
”Dibutuhkan kombinasi kebijakan yang kuat dari segi fiskal dan keuangan. Di tengah kondisi pemulihan ekonomi ini, kami terus mempertimbangkan dan mengevaluasi penerapan carbon pricing,” kata Febrio, dikutip dari Kompas.id.
Salah satu bentuknya adalah pajak karbon, yang saat ini tertuang dalam rancangan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terkait perluasan obyek pajak pertambahan nilai (PPN).
Baca Juga: Pendanaan Mitigasi Gas Rumah Kaca Mencapai Rp3.461 Triliun Hingga Tahun 2030
Adapun subyek pajak karbon adalah orang atau perusahaan yang membeli barang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon.
Secara bersamaan, kontribusi swasta untuk melakukan investasi hijau juga didorong melalui berbagai fasilitas perpajakan.
Antara lain, pembebasan pajak atau pemberian diskon pajak 100 persen hingga 20 tahun (tax holiday), keringanan pajak untuk bisnis panas bumi (geotermal), pembangkit listrik energi terbarukan, dan industri bioenergi.
Ada juga beberapa fasilitas yang khusus untuk mendorong eksplorasi panas bumi, seperti pembebasan PPN dan pembebasan pajak impor untuk kegiatan panas bumi, serta pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan hingga 100 persen untuk tahap eksplorasi panas bumi.
Menurut Ekonom Bank Mandiri Dendi Ramdani menilai, penerapan pungutan karbon bisa menjadi mekanisme untuk mengurangi dampak negatif dari kegiatan atau sektor yang menghasilkan emisi karbon.
”Pendapatan dari pungutan karbon itu harus jelas peruntukannya bahwa memang akan digunakan untuk upaya menetralisir polusi karbon, seperti program reforestasi dan memelihara hutan, jangan sampai seolah-olah dipakai untuk menambal defisit APBN di tengah kondisi krisis,” ujarnya.
Baca Juga: Perdagangan Karbon, Sumber Pendanaan Baru dan Kebangkitan Ekonomi Pascacovid-19
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV