Akselerasi Pemulihan Ekonomi, Anatomi Resesi Sampai Fokus Kebijakan
Ekonomi dan bisnis | 23 November 2020, 08:22 WIBOleh A Prasetyantoko - Rektor Unika Atma Jaya
JAKARTA, KOMPASTV. Dana Moneter Internasional dalam World Economic Outlook edisi Oktober 2020 merevisi pertumbuhan global dari -5,2 persen menjadi -4,4 persen. Perekonomian global diperkirakan membaik dari proyeksi Juli, tetapi pemulihan masih akan panjang dan rumit. Pesan kuat ini muncul dalam judul laporan tiga bulanan A Long and Difficult Accent.
Proyeksi pertumbuhan global yang sedikit melegakan segera disergap fakta mencemaskan serangan kedua virus korona tipe baru di banyak negara di Eropa. Perekonomian kawasan ini akan kembali melambat seiring penerapan partial lockdown atau karantina wilayah secara parsial.
Fakta mencemaskan juga menyelimuti negara-negara berkembang yang diproyeksikan justru memburuk dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Pada proyeksi April, negara-negara berkembang diperkirakan tumbuh -2,3 persen, tetapi pada proyeksi Juli diturunkan menjadi -5,0 persen dan pada Oktober melorot lagi menjadi -5,7 persen.
Tak ada satu pun negara pulih pada tahun ini, kecuali China yang diperkirakan tumbuh 1,9 persen pada 2020. Sementara lima negara ASEAN akan terkontraksi 3,4 persen, tetapi berbalik menjadi tumbuh 6,2 persen pada 2021. Tentu semuanya masih dengan asumsi.
Laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) edisi Oktober berjudul Living with Uncertainty menjelaskan, kendati resesi global tak separah perkiraan sebelumnya, risiko dan ketidakpastian masih tinggi. Lembaga ini meramal perekonomian global akan terkontraksi 4,5 persen pada tahun ini, sedangkan Indonesia diperkirakan tumbuh -3,3 persen. Ketidakpastian menjadi satu-satunya kepastian.
Adakah peluang tersisa dalam dua bulan mendatang untuk memaksimalkan pemulihan ekonomi domestik? Pertumbuhan triwulan III-2020 akan segera diumumkan dengan proyeksi pertumbuhan tahunan masih negatif, sedangkan pertumbuhan secara triwulanan diperkirakan mulai membaik.
Anatomi resesi
Resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 memiliki sifat berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Pertama, resesi kali ini memukul langsung dengan efek sangat parah terhadap sektor jasa, sedangkan dampak terhadap sektor manufaktur relatif lebih ringan. Data Bank Dunia mengenai Indeks Pembelian Manajer (IPM) global pada April 2020 menunjukkan sektor jasa merosot ke angka 20, sedangkan sektor manufaktur turun ke 40. Nilai di bawah 50 menunjukkan kontraksi dan angka yang semakin kecil menunjukkan kontraksi semakin dalam. Di Indonesia, sama seperti di semua negara, sektor pariwisata serta jasa ikutannya terpukul paling keras.
Kedua, tingkat penjualan rumah di banyak negara masih terus melaju. The Economist (20/9/2020) melaporkan, harga rumah di Amerika Serikat pada tahun ini justru naik rata-rata 5 persen. Padahal, saat krisis 2017/2018, harga rumah terkoreksi 10 persen. Kecenderungan serupa terjadi pada kelompok negara maju (G-7) dan negara-negara maju lainnya. Sementara harga properti di Indonesia cenderung stabil dan naik di beberapa segmen, seperti rumah toko.
Penulis : Dyah-Megasari
Sumber : Kompas TV