Menko Polhukam: Status Tersangka Nurhayati Tidak akan Dilanjutkan
Bbc indonesia | 27 Februari 2022, 12:41 WIBIftitah dari ICJR mengatakan saksi dan pelapor seharusnya tidak boleh digugat atau dipidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Namun dalam kasus ini, kata dia, polisi seolah tidak mendudukkan Nurhayati sebagai pelapor maupun saksi.
Polisi terkesan menganggap pelapor adalah orang yang secara resmi membuat laporan kasus tersebut, yakni Lukman Nurhakim. Padahal, laporan Lukman berasal dari aduan dan data yang disampaikan oleh Nurhayati.
"Padahal ada juga whistleblower dari mekanisme lain, bukan dari pelaporan polisi seperti Bu Nurhayati ini. Itu harusya bisa dikenal sebagai pelapor atau whistleblower juga."
"Ini menunjukkan (aparat) tidak profesional menjalankan tugas-tugasnya, seharusnya dia enggak hanya fokus pada pelaku tapi bagaimana hak-hak pihak lainnya seperti saksi, korban, whistleblower juga diperhatikan," kata Iftitah.
Sayangnya, UU 31/2014 belum mengatur secara tegas sejauh mana perlindungan terhadap pelapor, saksi, dan whistleblower bisa diberikan.
"Siapa kategori orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai whistleblower, perlindungan belum komprehensif, sehingga muncul lah perbedaan interpretasi ini di lapangan, yang rugi adalah orang-orang pencari keadilan seperti Ibu Nurhayati ini, secara hukum mereka diragukan," jelas dia.
Selain itu, menurut Iftitah, polisi disebutnya "tidak jeli" dalam memahami konteks kasus ini. Nurhayati dijadikan tersangka lantaran dianggap sebagai orang yang mencairkan dana.
Padahal, hal itu bisa jadi dia lakukan lantaran ada tekanan atau perintah dari Supriyadi sebagai atasannya.
"Di KUHP (pasal 51) jelas bahwa setiap orang yang melakukan perintah jabatan pun enggak bisa dipidana. Ini enggak dilihat dengan jeli oleh aparat penegak hukum kita," tutur Iftitah.
Kerangka hukum pidana belum cukup melindungi whistleblower
Di Indonesia, sistem pelaporan melalui whistleblower telah diterapkan oleh sejumlah lembaga dengan janji kerahasiaan informasi dan data pelapor.
Sejumlah lembaga yang telah menerapkannya antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Yudisial (KY), serta Ombudsman.
Sebagai contoh di KPK, seorang pelapor bisa mengadukan tindakan korupsi yang dilakukan sesuai dengan kewenangan KPK seperti melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara, serta kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.
Pengaduan tersebut dapat disampaikan melalui situs resmi KPK dengan dokumen pendukung. KPK, dalam hal ini, menjanjikan kerahasiaan informasi dan data pelapor.
Menurut Iftifah, aturan dan prosedur mengenai whistleblower saat ini mengacu pada aturan masing-masing lembaga tersebut. Sedangkan perlindungan hukumnya mengacu pada UU 31/2014 yang dianggap belum cukup komprehensif.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahkan belum mengatur sama sekali terkait perlindungan ini.
"Padahal saksi dan korban banyak yang perlu dimasukkan, siapa saksi dan whistleblower yang perlu dilindungi, kategori dan keterlibatannya seperti apa, bentuk perlindungannya seperti apa. Itu pekerjaan rumah yang perlu ditingkatkan," kata Iftitah.
Baca juga:
- Kisah pelapor 'korupsi kas negara' yang nyawanya terancam: 'Tidak aman, tapi tidak menyesal melaporkan'
- Uang Rp200 juta untuk pelapor korupsi: akan efektifkah atasi korupsi?
- 'Korupsi' bansos: Pemerintah lakukan evaluasi, pegiat sebut 'semua program penanggulangan Covid-19 rawan korupsi'
Selain itu, Iftitah mengatakan perlindungan hukum berdasarkan amanat UU 31/2014 dibebankan pada LPSK yang baru bisa bergerak apabila ada pelaporan masyarakat, dan jangkauannya yang tidak cukup luas hingga ke daerah-daerah.
Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution.
"Kalau orang tidak melapor, LPSK tidak bisa melindungi. Tapi LPSK memberi jalan keluar, misalnya kalau ada peristiwa yang mendapat perhatian publik kami datangi, tapi tetap kami minta melapor, kami minta surat permohonannya," kata Maneger.
Polisi didesak tinjau kembali kasus Nurhayati
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan polisi dan kejaksaan seharusnya "menahan diri" menetapkan Nurhayati sebagai tersangka.
Sebab, posisi Supriyadi sebagai atasan "bisa jadi menekan" Nurhayati sebagai bawahannya.
Polisi, kata dia, seharusnya fokus pada tindak korupsi yang dilakukan oleh Supriyadi lebih dulu. Keterlibatan pihak lain termasuk Nurhayati seharusnya bisa dibuktikan lebih lanjut dalam persidangan.
"Kalau dia (Nurhayati) hanya melakukan perintah saja, mekanisme saja, itu enggak bisa dilakukan, tidak bisa dikualifikasikan sebagai kejahatan," kata Abdul Fickar.
"Kalau nanti terbukti Nur Hayati berperan bukan karena tugas dan fungsinya, tapi inisiatifnya, itu kelihatan di persidangan," lanjut dia.
Pegiat anti-korupsi dari ICW, Kurnia Ramadhana, mendesak polisi meninjau kembali konstruksi hukum dari kasus ini.
"Penting mendudukkan konstruksi hukum yang dibangun Polres Cirebon, agar situasi hari ini yang menimpa Bu Nurhayati bisa benar-benar clear," kata Kurnia.
Apa tanggapan Polda Jabar?
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Ibrahim Tompo mengatakan pihaknya sudah tidak bisa lagi mengkonstruksi ulang kasus ini karena berkas perkaranya telah dilimpahkan ke kejaksaan.
"Saat ini kami tinggal mengirimkan tersangka dan barang bukti ke Jaksa Penuntut Umum. Posisinya sudah tidak di dalam kewenangan kepolisian atau penyidik," kata Ibrahim.
Ibrahim juga mengklaim bahwa penyidik telah bekerja "sesuai norma hukum" dan "ada bukti keterlibatan Nurhayati telah menyalahgunakan wewenangnya".
Berimplikasi serius pada 'sektor paling korup'
ICW menyatakan penindakan terhadap kasus korupsi dana desa ini bisa berimplikasi "sangat serius" pada pemberantasan korupsi terutama pada sektor pengelolaan dana desa.
Menurut Kurnia, tren penindakan pada semester pertama 2021 menunjukkan bahwa pemerintah desa menjadi pelaku kasus korupsi terbanyak.
Sementara itu, penegak hukum membutuhkan informasi dari masyarakat di tengah keterbatasannya untuk mendeteksi kasus-kasus korupsi.
"Jadi bisa dibayangkan ke depan, kalau masyarakat selalu di bawah ancaman kriminalisasi, maka angka korupsi dana desa bisa semakin tinggi, karena tidak ada yang mau melaporkan ke penegak hukum," kata Kurnia.
Oleh sebab itu, ICW mendesak KPK dan Polri melakukan supervisi terhadap penanganan kasus ini agar tidak menjadi preseden buruk di masa depan.
Berita ini diperbarui pada Minggu (27/02), pukul 10.35 WIB, dengan menambahkan keterangan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan status tersangka Nurhayati 'tidak akan dilanjutkan'.
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC