Menko Polhukam: Status Tersangka Nurhayati Tidak akan Dilanjutkan
Bbc indonesia | 27 Februari 2022, 12:41 WIBMenko Polhukam Mahfud Md mengatakan pihaknya "tidak akan melanjutkan" status tersangka Nurhayati, pelapor kasus dugaan korupsi Kepala Desa Citemu, Cirebon, Jabar.
"Insya Allah status tersangka [Nurhayati] tidak dilanjutkan. Tinggal formula yuridisnya," kata Mahfud dalam akun Twitternya, Minggu (27/02).
Lebih lanjut, Mahfud mengatakan saat ini sedang disiapkan formula yuridis untuk menghentikan status tersangka Nurhayati.
Dengan demikian, menurutnya, Nurhayati tidak perlu lagi datang ke Kemenko Polhukam.
"... Maka diinfokan bahwa yang bersangkutan tak perlu lagi datang ke Kem-Polhukam. Kemenko Polhukam telah berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan," tulis Mahfud.
Adapun sangkaan korupsi kepada Kepala Desa Citemu, Supriyadi, akan terus dilanjutkan, ujar Mahfud.
Gelombang kritik para pegiat anti-korupsi
Sebelumnya, penetapan Nurhayati — pengungkap fakta (whistleblower) kasus dugaan korupsi dana desa di Citemu, Cirebon — sebagai tersangka telah menimbulkan gelombang kritik.
Para pegiat anti-korupsi menganggap status itu sebagai bentuk "kegagalan" dan "ketidakprofesionalan" penegak hukum dalam melindungi saksi dan pelapor, kata Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari.
Menurut Iftitah, Nurhayati seharusnya dilindungi sebagai orang yang pertama kali mengungkap dugaan tindak korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu, Supriyadi.
"Perlindungan konteksnya di sini kan juga ada kewajiban aparat penegak hukum untuk melihat kepentingan perlindungan hukum whistleblower-nya, enggak cuma buat kepentingan mengusut kasusnya saja," kata Iftitah kepada BBC News Indonesia, Rabu (23/02).
"Dari kasus ini kita melihat ada kegagalan sistem peradilan pidana kita dalam melindungi whistleblower, khususnya dalam kasus korupsi," lanjut dia.
Menurut ICJR, kerangka hukum perlindungan saksi yang ada saat ini belum cukup kuat dan komprehensif melindungi whistleblower yang secara hukum tidak berstatus sebagai pelapor.
Sementara itu, pegiat anti-korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengkhawatirkan apa yang menimpa Nurhayati membuat masyarakat enggan melaporkan tindak korupsi yang mereka ketahui, terutama di sektor pengelolaan dana desa yang dianggap paling korup.
Baca juga:
- Aliran dana ke desa fiktif: Potret 'buruknya pengawasan' pengelolaan anggaran puluhan triliun rupiah?
- Kemampuan perencanaan aparat 'lemah', korupsi dana desa meningkat
- Korupsi dana desa: Apa langkah terbaik untuk menyelamatkannya?
Nurhayati merupakan Kepala Urusan Keuangan yang pertama kali melaporkan dugaan korupsi dana desa senilai Rp881 juta oleh Supriyadi kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
BPD kemudian melaporkan hal itu kepada polisi dan berujung pada penetapan Supriyadi dan Nurhayati sebagai tersangka.
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat, Komisaris Besar Ibrahim Tompo, menyatakan Nurhayati terbukti "menyalahgunakan kewenangannya" sehingga korupsi yang dilakukan Supriyadi tetap terjadi.
Sejumlah pihak mendesak agar polisi mengkonstruksikan ulang bahkan menunda kasus ini demi melindungi Nurhayati sebagai pengungkap fakta. Tetapi Ibrahim mengklaim hal itu bukan lagi ranah kepolisian karena berkas perkaranya telah dilimpahkan ke kejaksaan.
Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon, Hutamrin, tidak merespons ketika dihubungi BBC News Indonesia.
Kuasa hukum Nurhayati, Elyasa Budiyanto, menunda pengajuan praperadilan untuk menggugat status tersangka itu.
"Ada atensi dari Menkopolhukam untuk perlindungan terhadap Bu Nurhayati, jadi (pengajuan) praperadilan ditunda karena ada sinyal dari Jakarta ke arah situ," kata Elyasa.
Elyasa mengatakan juga telah mengirimkan surat Nurhayati kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk mendesak perlindungan dan penegakan keadilan.
Berawal dari laporan ke Badan Permusyawaratan Desa
Kasus ini bermula pada 2018, ketika Nurhayati menyurati BPD Citemu terkait dugaan korupsi dan penyimpangan anggaran dana desa. BPD kemudian menegur Supriyadi.
Pada Oktober 2019, Nurhayati kembali mengadu ke BPD karena penyimpangan dana desa masih terjadi.
BPD bersama Nurhayati dan sejumlah perangkat desa akhirnya merangkum dan mendata dugaan penyimpangan dana tersebut.
Lembaga ini kemudian melaporkan kasus itu ke polisi berdasarkan data dan dokumen yang didapat dari Nurhayati.
Menurut Ketua Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) Citemu, Lukman Nurhakim, dugaan korupsi itu mencapai Rp818 juta yang mencakup penyimpangan dana pembangunan masjid hingga bantuan sembako untuk anak yatim.
"Nama Bu Nurhayati saya rahasiakan, karena beliau sebagai bawahannya kepala desa. Kalau seandainya bocor keluar, Bu Nurhayati lah yang habis sama kepala desa, karena saya juga yang melaporkan itu juga diancam," tutur Lukman.
Tetapi pada 2 Desember 2021, mereka dikagetkan dengan surat penetapan tersangka Nurhayati karena dianggap 'menyalahgunakan kekuasaan' berdasarkan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Lukman sempat mendatangi penyidik terkait penetapan tersangka dan mendapat jawaban bahwa hal itu dilakukan atas petunjuk jaksa.
Menurut Lukman, apa yang menimpa Nurhayati menimbulkan ketakutan dan kekhwatiran perangkat desa lainnya, yang turut membantu pengungkapan kasus ini.
Padahal, dia melanjutkan, tindak korupsi dilakukan oleh kepala desa sebagai pemegang kekuasaan dan tanggung jawab. Perangkat desa termasuk Nurhayati justru dia sebut sudah "tidak tahan" dengan tindakan itu, sehingga melaporkannya ke BPD.
"Kalau dibilang ikut serta kan ada imbal baliknya, enggak mungkin kalau orang membantu atau ikut serta tidak ada imbal baliknya. Nyatanya kan dari Polres sendiri belum terbukti dua tahun ini Bu Nurhayati memakan uang," ujar Lukman.
"Pokoknya saya minta (kasus Nurhayati) dibereskan, biar masyarakat lebih berani mengungkap kasus korupsi. Takut lah sekarang, jangan-jangan nanti lapor kepala desa, penjara juga. Jangan-jangan jadi saksi, penjara juga," kata dia.
Kuasa Hukum Nurhayati, Elyasa Budiyanto, mengatakan Nurhayati saat ini telah didampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) setelah kasus ini mencuat ke publik.
Pihaknya sempat berencana mengajukan gugatan praperadilan untuk menggugurkan status tersangka Nurhayati pada Rabu (23/2), tetapi akhirnya ditunda karena "ada atensi dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan untuk memberikan perlindungan".
"Saya belum tahu bagaimana, yang pasti solusinya kalau win-win solution harus konkret," kata Elyasa.
Apabila respons Kemenkopolhukam dianggap tidak cukup konkret, maka Elyasa akan tetap mengajukan gugatan praperadilan.
Mengapa seorang whistleblower bisa berakhir sebagai tersangka?
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC