Perjalanan Ibu dan Anak dari Desa di Jawa Tengah yang Jadi "Korban Kerja Paksa" di Malaysia (2)
Bbc indonesia | 4 Februari 2022, 10:07 WIB"Istrinya, katanya sudah dua tahun kerja, katanya tidak bisa pulang, katanya tidak digaji, mau melarikan diri, dan katanya disuruh ke kedutaan, lapornya seperti itu," kata Nurosyid kepada BBC News Indonesia.
Nurosyid mengatakan tidak mengetahui apakah ibu dan anak itu pergi secara resmi atau tidak karena mereka berangkat ke negara jiran tersebut sebelum ia menjabat sebagai kepala desa.
Naik bus dan kapal dari desa ke Johor Baru - bertemu "Polwan Walinda"
Perjalanan Lasri dan putrinya ke Malaysia bermula setelah dijanjikan Ali Ahmadi, gaji sebesar RM1,200 (Rp4,1 juta) untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan mengasuh anak.
Mereka baru menyadari yang mereka harus jaga adalah orang dewasa lumpuh berusia 21 tahun dan harus dirawat sepanjang hari dan malam, termasuk menggendong untuk dibawa ke kamar mandi.
Dari desa, mereka naik bus ke Semarang dan kemudian menuju Jakarta, menginap semalam.
"Dari Tanjung Priok (pelabuhan di Jakarta), ke Batam. Dua hari tiga malam. Naik Kapal Kelud. Paspor dibawa agen, dan suruh tandatangan. Kalau ditanya, bilang kamu mau berkunjung ke rumah Polwan Walinda," cerita Lasri tentang perjalanan ke Malaysia pada November 2019.
Nama Polwan Walinda diperkirakan adalah nama sandi untuk mereka yang terlibat dalam perekrutan gelap ini.
"Dari Batam naik kapal selama empat jam ke Johor Baru, dan tak ada imigrasi lagi (pemeriksaan) di sana. Sampai sekitar jam 05:00 pagi, melewati hutan sawit, dibawa mobil van tertutup dan kami tak bisa melihat sopir," sambungnya.
Ali, kata mereka, ikut mengantar mereka termasuk dengan satu orang calon pembantu rumah tangga juga.
Lasri dan Kholifah mengatakan mereka bertemu majikan di satu pusat perbelanjaan dan mereka melihat "Ali minta uang lagi ke majikan dan langsung diberikan."
Ali Ahmadi mengaku menawari pekerjaan
BBC News Indonesia menjumpai Ali Ahmadi di tokonya, Rembang, Jawa Tengah, Selasa (02/02), yang di depannya terpampang spanduk bertuliskan Agen Tiket Pesawat Murah.
Ali mengaku menawarkan pekerjaan sebagai PRT ke Lasri, dan juga mengaku menemani mereka ke Malaysia setelah ditanya yang bersangkutan "ingin bekerja di luar negeri."
"Dua tahun lalu. Orang dia (Lasri) kerja di sebelah sini. Dia datang ke saya, bilang punya utang, bagaimana bayarnya. Saya bilang kamu harus kerja kuat, kalau di sini tidak cukup."
"Bagaimana kalau kerja ke luar negeri, bagaimana caranya. Lah saya ada kenalan di Malaysia, dulu kan saya pernah kerja di Malaysia. Saya kenal orang di Malaysia yang punya anak cacat dan minta pembantu."
"Lalu dia (Lasri) bilang, saya kalau boleh sama anak saya (ke sana), ya tidak masalah, saya hubungkan. Saya hubungi langsung sama majikan, akhirnya sudah deal, saya disuruh mengantarkan," ungkap Ali.
Ali menambahkan, ia mengurus dokumen seperti paspor dan surat rekomendasi yang menghabiskan Rp5 juta, dan itu utang majikan yang diganti ke Ali setelah bertemu di Malaysia.
"Majikan yang bilang, nanti Pak Ali uruskan, habis berapa saya tanggung," kata Ali.
Ali juga mengatakan utang Lasri - untuk bayar utang dan pengurusan paspor - sekitar RM2.000 dibayarkan majikan dan akan dipotong gaji empat bulan.
Perjanjian kerja dan apa yang mereka kerjakan, kata Ali, dibicarakan sendiri oleh Lasri dan majikan di Malaysia itu.
"Saya (hanya) menjual tiket dan mengantar saja," kata Ali tentang perannya.
Ali menjelaskan, ia mengantarkan mereka menggunakan pesawat sampai ke Batam, berbeda dengan keterangan Lasri yang menggunakan kapal.
Ali pun menegaskan, Lasri dan anaknya adalah satu-satunya TKI yang dikirimkan ke Malaysia.
"Sebelumnya tidak ada, Bu Lasri ini yang pertama, bahasnya coba-coba saja," katanya.
Ali sendiri juga mengatakan pernah bekerja di Malaysia pada 1992 dan dikirim ke sana melalui Kepulauan Riau.
Berdasarkan laporan tahunan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Juli tahun lalu, kerja paksa, seperti yang dialami Lasrini dan putrinya, adalah kejahatan utama dalam perdagangan manusia di Malaysia.
Laporan itu menyebutkan, Malaysia terus "melakukan kejahatan perdagangan manusia dan penyelundupan migran, dan tidak menangani atau menyelesaikan tuduhan yang kredibel tentang perdagangan tenaga kerja."
Indonesia dan Malaysia belum menandatangani MOU tentang perlindungan pekerja migran. Indonesia mengatakan sepanjang MOU belum diteken, pengiriman pekerja ke negara itu secara resmi akan tetap dihentikan.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC