> >

G30S, Thaib Adamy, dan Pembunuhan Massal 1965 di Aceh (4)

Bbc indonesia | 23 Januari 2022, 17:20 WIB

 

Kantor pusat PKI di Jakarta, pada 8 Oktober 1965, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul peristiwa G30S. (Sumber: Getty Images)

'Saya ingin mencari dimana jasad ayah dan kakak sulung saya dikuburkan'

Puluhan tahun bergelut dengan rasa sakit dan penderitaan akibat tragedi 1965, Setiady terus berupaya mengembangkan kesadaran agar tidak menjadi tawanan masa lalu.

"Saya tidak pernah menyimpan dendam," Setiady berulang kali menekankan hal itu kepada saya.

Namun demikian dia memiliki secuil harapan agar tragedi yang menimpa keluarganya, juga para penyintas 1965 lainnya di Aceh, dapat diungkap.

"Ungkap faktanya," ujarnya. Hal dia tekankan karena selama ini para korban 1965 dan keluarganya seolah-olah dalam posisi salah sehingga seperti 'dibenarkan' untuk dibantai.

"Belum lagi stigma PKI yang terus distempelkan kepada anak-cucunya," tambahnya.

Bagi Setiady, mengungkap apa yang terjadi pada keluarganya dalam tragedi yang terjadi 56 tahun silam itu justru menyembuhkannya, dan bukan justru menoreh luka lama.

"Sudah saatnya kebenaran diungkapkan," kata Setiady di awal wawancara.

Jika hal itu terealisasi, dia membayangkan akan muncul kesadaran supaya tindakan kekerasan brutal seperti itu tidak akan terulang di masa depan.

Dia memahami bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat dalam tragedi 1965 sudah menjadi agenda Reformasi 1998 dan pemerintah sudah berjanji untuk menyelesaikannya.

Anak keempat dari sembilan bersaudara dari pasangan Thaib Adamy-Samiah ini sepertinya 'sudah selesai' dengan masa lalunya.

Dialah yang paling berani mempertanyakan tindakan pembantaian orang-orang yang tidak bersalah dalam kekerasan pasca G30S 1965 di Aceh — jika dibandingkan para keluarga penyintas kekerasan 1965 di Aceh yang kebanyakan memilih diam.

Dia lantas berkisah beberapa potongan dalam hidupnya. Di masa kecil, tidak lama setelah G30S, Adi sempat ditolak pimpinan sekolah dasar karena 'latar belakang' ayahnya.

"Rupanya pimpinan sekolah takut dicap PKI, jika menerima anaknya Thaib Adamy sebagai muridnya," ungkapnya. Saat itu dia tinggal bersama kakeknya di Kota Idi, Aceh Timur.

Barulah setelah seseorang dari keluarga ayahnya — Ismail Petua Husin, yang kelak menjadi orang tua angkatnya — yang disegani 'turun tangan', pihak sekolah tak kuasa menolaknya. Tapi peristiwa ini tak lekang dari ingatan sang bocah.

Dalam atmosfer stigma yang dilekatkan pada ayahnya, Adi muda akhirnya tiba pada satu titik: bagaimana supaya dirinya tak tertawan masa lalu itu.

"Saya harus memiliki kemampuan," ujarnya, seperti bersumpah. Pilihannya adalah bidang olah raga, persisnya polo air.

Ady muda kemudian menghabiskan usia masa remajanya di kolam renang di Kota Medan.

Kelak namanya terukir sebagai tim polo air Sumatera Utara dan Sumatera Barat dalam beberapa kali Pekan Olah raga Nasional (PON) mulai 1973 hingga 1988.

Puncaknya, Adi dipercaya memperkuat tim polo air Indonesia di ajang Sea Games 1977, 1979, 1981 hingga 1983.

"Saya juga pernah menjadi pelatih polo air Indonesia di Sea games 1989 di Kuala Lumpur," katanya.

Prestasi di bidang olah raga ini, nantinya mengantar Adi memasuki dunia profesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Padang, Sumatera Barat.

"Saya selalu ingat prinsip ibu saya, agar anak-anaknya diusahakan sekolah, betapapun susah hidup kami," ujarnya mencoba mengingat lagi.

Kembali lagi kepada sikapnya untuk memilih membuka tabir gelap 1965.

Selama perjalanan ke Medan dan kota kecil Idi di Aceh Timur, dia juga berusaha meyakinkan keluarganya agar mau bersuara, tetapi tidak gampang — dan dia memakluminya.

"Mereka belum selesai dengan traumanya," ujarnya perlahan. Salah-seorang adiknya yang kami temui termasuk yang belum siap berbicara.

Setiady terus melangkah. Dan di ujung wawancara, Ady — panggilan akrabnya — membayangkan dapat menemukan lokasi di mana jasad ayah dan kakak sulungnya dikuburkan.

Demikian pula harapan menemukan kejelasan tentang keberadaan kakak nomor dua yang disebutnya 'masih hilang'.

"Mungkin kalau memang benar [nanti ditemukan lokasi kuburannya], saya akan bongkar, dan saya pindahkan ke satu tempat, agar anak-anak saya tahu, inilah kakeknya," pungkas Setiady.

Kelak apabila keinginannya itu terwujud, Ady membayangkan pula bahwa anak-anaknya, adik-adiknya, serta keluarga besarnya akan dapat berziarah ke makam Thaib Adamy.


'Aceh sebagian besar hidupnya dalam kondisi konflik' — Mengapa kekerasan 1965 di Aceh seperti dilupakan?

Narasi di seputar pembantaian terhadap orang-orang yang dicap komunis di Aceh pada 1965, termasuk yang dialami Thaib Adamy dan dua anaknya, nyaris lenyap dari ingatan masyarakat

Agak berbeda dengan para penyintas 1965 di Jawa, Bali atau Sumatera Utara, sebagian besar keluarga korban di wilayah Aceh, memilih menutupi sisi pahit hidupnya pada periode gelap itu.

Puluhan tahun kemudian, bahkan tragedi kemanusiaan itu, masih menghantui sebagian besar para penyintas dan keluarganya.

Mengapa pembunuhan massal di Aceh seperti lenyap dari ingatan masyarakat?

"Situasi di Aceh berbeda dengan provinsi lain. Karena Aceh sebagian besar hidupnya dalam kondisi konflik," kata pegiat Lembaga Bantuan Hukum, LBH, Banda Aceh, Aulianda Wafisa, kepada BBC News Indonesia.

Perjalanan Aceh, seperti tercatat dalam sejarah, nyaris tanpa henti dilanda konflik bersenjata.

Usai Sukarno dan Hatta membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945, Aceh dilanda 'perang saudara' yang disebut Perang Cumbok antara 1945-1946.

Lalu, pemberontakan Darul Islam/TII (1953-1962) yang menampilkan sosok Teungku Daud Beureueh sebagai pemimpinnya.

Dan ketika pemberontakan itu baru saja usai, huru-hara politik G30S di tingkat nasional membuat darah kembali berceceran di Aceh.

Trauma masyarakat Aceh terus berlanjut. Pada 1976, Hasan Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Darah kembali tumpah — sebelum akhirnya MoU Helsinki 2005 menyudahinya.

"Episodenya [kekerasan] berlainan, tapi korban tetap manusia. Jadi, Aceh itu juga 'tanah kekerasan'," kata sosiolog dan pemerhati masalah sosial asal Aceh, Humam Hamid.

Dengan situasi seperti itu, sulit bagi korban untuk bercerita, kata Aulianda.

"Jadi upaya pemulihan korban itu hampir tidak ada," ujar Kepala Program LBH Banda Aceh ini saat ditemui di kantornya, Oktober lalu.

Mungkin saja secara alamiah mereka 'sembuh', namun kemudian datang lagi konflik berikutnya. "Dan itu menebar ketakutan yang luar biasa," kata Aulianda.

Sejauh amatannya, belum pernah ada upaya pengungkapan kebenaran atas apa yang terjadi di Aceh pada 1965. "Mereka juga tidak pernah mendapat pendampingan."

"Beda dengan para penyintas di Jawa atau beberapa lain di Indonesia yang memiliki wadah berbagi dan saling menguatkan satu sama lain," tambahnya.

Sekitar lima tahun silam, Aulianda Wafisa pernah terlibat sebuah penelitian terkait kekerasan 1965 di Aceh. Dia bersama timnya menemui keluarga korban di Aceh Tamiang dan Bener Meriah, Aceh.

"Sulit sekali bagi mereka untuk cerita, karena mungkin kami orang pertama yang menanyakan perihal itu," ungkapnya.

Aulianda bersama timnya menemui keluarga korban dan berusaha mencari di mana kuburan massal atau lokasi pembantaian orang-orang yang dicap komunis setelah G30S 1965.

Bagi Humam Hamid, rantai kekerasan di Aceh yang menelan banyak korban, termasuk pembunuhan massal 1965, harus diungkap. "Sehingga ada hikmahnya."

"Kita harus berdamai dengan masa lalu. Anak-anak kita ke depan harus hidup dengan tenang," kata Humam saat ditemui di Banda Aceh, Oktober 2021.

Dia khawatir, apabila kasus-kasus kekerasan ini tidak dituntaskan, ada semacam 'sumbatan' yang tidak baik bagi masa depan Aceh dan Indonesia.

Pada titik ini, Humam meminta negara mengambil inisiatif dan mengambil peran paling depan. "Kalau tidak, ini akan diungkit-ungkit terus. Nggak pernah selesai."

"Bangsa ini harus melepas beban sejarah yang besar untuk melangkah," katanya lagi.

Upaya di tingkat nasional, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan langkah non yudisial, melalui UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai 'payungnya'.

Tapi langkah ini kemudian berjalan di tempat, setelah 'ketuk palu' MK membuat KKR tak pernah terealisasi. Belum lagi penolakan sejumlah kalangan yang didasari motif politik.

Di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, KKR, yang bertugas menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, sudah dibentuk.

Namun saat ini, mereka masih fokus menyelesaikan kasus-kasus di masa konflik antara Gerakan Aceh Merdeka, GAM dengan pemerintah Indonesia, sesuai mandat MoU Helsinki 2005.

"Kami memang belum masuk ke dalam peristiwa-peristiwa yang di bawah 1976," kata salah-seorang komisioner KKR Aceh, Muhammad Daud Beureuh, kepada BBC News Indonesia.

Sejarawan dari Fakultas Seni dan Ilmu Sosial, Universitas Sydney, Australia, Jess Melvin, masih berharap kepada KKR Aceh untuk menyelesaikan kekerasan 1965 di wilayah itu, setidaknya bisa diagendakan oleh komisioner berikutnya.

"Penting bagi mereka untuk meneliti pada kasus '65, karena kekerasan militer [di Aceh] sangat mirip dalam dua fase konflik itu [antara konflik GAM-RI dan 1965)," kata Jess Melvin dalam wawancara dengan BBC News Indonesia melalui zoom, November 2021.

Sejauh ini Jess menaruh kepercayaan kepada KKR Aceh akan mengagendakan kekerasan 1965 dalam program kerjanya. "Lagipula KKR Aceh kan sifatnya permanen."

"Jika ini terjadi, itu bisa menjadi contoh untuk kasus 1965 secara nasional," kata penulis buku The Army and The Indonesian Genocide: Mechanics off Mass Murder (2018).

Buku yang ditulis Jess Melvin itu ini menampilkan dokumen internal militer di Aceh yang mengungkap bahwa operasi pembantaian atas orang-orang yang dituduh komunis di wilayah itu dikoordinir oleh Mayor Jenderal Suharto — kelak menjadi Presiden Indonesia.

Di luar penyelesaian secara non-yudisial, sekian tahun lalu, Komnas HAM melakukan penyelidikan atas kekerasan 1965 dan menyimpulkan diduga ada pelanggaran HAM berat.

Dalam perjalanannya, mereka kemudian menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti — namun sejauh ini tak ada langkah lanjutan.

Khusus kekerasan 1965 di Aceh, Aulianda Wafisa tidak terlalu berharap pada penyelesaian melalui jalur hukum, karena situasi politik nasional dan sikap masyarakat saat ini.

"Mustahil [ada proses hukum] dalam waktu dekat," tegasnya.

Dia juga memahami kebijakan KKR Aceh yang saat ini lebih fokus kepada penyelesaian konflik bersenjata GAM-Indonesia (1976-2004).

Alasannya," konfliknya cukup panjang, hampir 30 tahun. Semua mata dan telinga kita diarahkan ke era konflik itu (GAM-Indonesia)," katanya.

AFP
Dukungan terhadap perdamaian RI-GAM ditandai pelepasan burung merpati putih di Kota Banda Aceh, 14 Agustus 2005 oleh sejumlah mahasiswa di kota itu.

Dalam situasi seperti itulah, upaya yang bisa dilakukan adalah mendokumentasikan 'suara-suara' para korban 1965 dan keluarganya, sebagai proses pengungkapan kebenaran itu sendiri.

"Setidaknya ada dokumentasi yang ditujukan ujtuk proses pengungkapan kebenaran peristiwa 1965. Setidaknya kita berinvestasi dulu pada cerita," paparnya.

Hal ini dia tekankan karena selama ini informasi yang beredar masyarakat didominasi narasi tunggal versi pemerintah.

Dengan memberikan tempat kepada para penyintas dan keluarganya untuk bersaksi, masyarakat bakal mendapatkan pemahaman lebih utuh dalam melihat tragedi 56 tahun silam itu.

"Sehingga tidak ada lagi monopoli informasi terkait peristiwa 1965 baik di Aceh atau tempat lainnya di Indonesia," tandas Aulianda.


Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.

Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.

Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.

Wartawan Sinarpidie.co di Sigli, Aceh, Firdaus Yusuf berkontribusi sebelum dan selama liputan ini di kota Sigli, Aceh.

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU