> >

G30S, Thaib Adamy, dan Pembunuhan Massal 1965 di Aceh (4)

Bbc indonesia | 23 Januari 2022, 17:20 WIB

Trauma masyarakat Aceh terus berlanjut. Pada 1976, Hasan Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Darah kembali tumpah — sebelum akhirnya MoU Helsinki 2005 menyudahinya.

"Episodenya [kekerasan] berlainan, tapi korban tetap manusia. Jadi, Aceh itu juga 'tanah kekerasan'," kata sosiolog dan pemerhati masalah sosial asal Aceh, Humam Hamid.

Dengan situasi seperti itu, sulit bagi korban untuk bercerita, kata Aulianda.

"Jadi upaya pemulihan korban itu hampir tidak ada," ujar Kepala Program LBH Banda Aceh ini saat ditemui di kantornya, Oktober lalu.

Mungkin saja secara alamiah mereka 'sembuh', namun kemudian datang lagi konflik berikutnya. "Dan itu menebar ketakutan yang luar biasa," kata Aulianda.

Sejauh amatannya, belum pernah ada upaya pengungkapan kebenaran atas apa yang terjadi di Aceh pada 1965. "Mereka juga tidak pernah mendapat pendampingan."

"Beda dengan para penyintas di Jawa atau beberapa lain di Indonesia yang memiliki wadah berbagi dan saling menguatkan satu sama lain," tambahnya.

Sekitar lima tahun silam, Aulianda Wafisa pernah terlibat sebuah penelitian terkait kekerasan 1965 di Aceh. Dia bersama timnya menemui keluarga korban di Aceh Tamiang dan Bener Meriah, Aceh.

"Sulit sekali bagi mereka untuk cerita, karena mungkin kami orang pertama yang menanyakan perihal itu," ungkapnya.

Aulianda bersama timnya menemui keluarga korban dan berusaha mencari di mana kuburan massal atau lokasi pembantaian orang-orang yang dicap komunis setelah G30S 1965.

Bagi Humam Hamid, rantai kekerasan di Aceh yang menelan banyak korban, termasuk pembunuhan massal 1965, harus diungkap. "Sehingga ada hikmahnya."

"Kita harus berdamai dengan masa lalu. Anak-anak kita ke depan harus hidup dengan tenang," kata Humam saat ditemui di Banda Aceh, Oktober 2021.

Dia khawatir, apabila kasus-kasus kekerasan ini tidak dituntaskan, ada semacam 'sumbatan' yang tidak baik bagi masa depan Aceh dan Indonesia.

Pada titik ini, Humam meminta negara mengambil inisiatif dan mengambil peran paling depan. "Kalau tidak, ini akan diungkit-ungkit terus. Nggak pernah selesai."

"Bangsa ini harus melepas beban sejarah yang besar untuk melangkah," katanya lagi.

Upaya di tingkat nasional, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan langkah non yudisial, melalui UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai 'payungnya'.

Tapi langkah ini kemudian berjalan di tempat, setelah 'ketuk palu' MK membuat KKR tak pernah terealisasi. Belum lagi penolakan sejumlah kalangan yang didasari motif politik.

Di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, KKR, yang bertugas menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, sudah dibentuk.

Namun saat ini, mereka masih fokus menyelesaikan kasus-kasus di masa konflik antara Gerakan Aceh Merdeka, GAM dengan pemerintah Indonesia, sesuai mandat MoU Helsinki 2005.

"Kami memang belum masuk ke dalam peristiwa-peristiwa yang di bawah 1976," kata salah-seorang komisioner KKR Aceh, Muhammad Daud Beureuh, kepada BBC News Indonesia.

Sejarawan dari Fakultas Seni dan Ilmu Sosial, Universitas Sydney, Australia, Jess Melvin, masih berharap kepada KKR Aceh untuk menyelesaikan kekerasan 1965 di wilayah itu, setidaknya bisa diagendakan oleh komisioner berikutnya.

"Penting bagi mereka untuk meneliti pada kasus '65, karena kekerasan militer [di Aceh] sangat mirip dalam dua fase konflik itu [antara konflik GAM-RI dan 1965)," kata Jess Melvin dalam wawancara dengan BBC News Indonesia melalui zoom, November 2021.

Sejauh ini Jess menaruh kepercayaan kepada KKR Aceh akan mengagendakan kekerasan 1965 dalam program kerjanya. "Lagipula KKR Aceh kan sifatnya permanen."

"Jika ini terjadi, itu bisa menjadi contoh untuk kasus 1965 secara nasional," kata penulis buku The Army and The Indonesian Genocide: Mechanics off Mass Murder (2018).

Buku yang ditulis Jess Melvin itu ini menampilkan dokumen internal militer di Aceh yang mengungkap bahwa operasi pembantaian atas orang-orang yang dituduh komunis di wilayah itu dikoordinir oleh Mayor Jenderal Suharto — kelak menjadi Presiden Indonesia.

Di luar penyelesaian secara non-yudisial, sekian tahun lalu, Komnas HAM melakukan penyelidikan atas kekerasan 1965 dan menyimpulkan diduga ada pelanggaran HAM berat.

Dalam perjalanannya, mereka kemudian menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti — namun sejauh ini tak ada langkah lanjutan.

Khusus kekerasan 1965 di Aceh, Aulianda Wafisa tidak terlalu berharap pada penyelesaian melalui jalur hukum, karena situasi politik nasional dan sikap masyarakat saat ini.

"Mustahil [ada proses hukum] dalam waktu dekat," tegasnya.

Dia juga memahami kebijakan KKR Aceh yang saat ini lebih fokus kepada penyelesaian konflik bersenjata GAM-Indonesia (1976-2004).

Alasannya," konfliknya cukup panjang, hampir 30 tahun. Semua mata dan telinga kita diarahkan ke era konflik itu (GAM-Indonesia)," katanya.

AFP
Dukungan terhadap perdamaian RI-GAM ditandai pelepasan burung merpati putih di Kota Banda Aceh, 14 Agustus 2005 oleh sejumlah mahasiswa di kota itu.

Dalam situasi seperti itulah, upaya yang bisa dilakukan adalah mendokumentasikan 'suara-suara' para korban 1965 dan keluarganya, sebagai proses pengungkapan kebenaran itu sendiri.

"Setidaknya ada dokumentasi yang ditujukan ujtuk proses pengungkapan kebenaran peristiwa 1965. Setidaknya kita berinvestasi dulu pada cerita," paparnya.

Hal ini dia tekankan karena selama ini informasi yang beredar masyarakat didominasi narasi tunggal versi pemerintah.

Dengan memberikan tempat kepada para penyintas dan keluarganya untuk bersaksi, masyarakat bakal mendapatkan pemahaman lebih utuh dalam melihat tragedi 56 tahun silam itu.

"Sehingga tidak ada lagi monopoli informasi terkait peristiwa 1965 baik di Aceh atau tempat lainnya di Indonesia," tandas Aulianda.


Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.

Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.

Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.

Wartawan Sinarpidie.co di Sigli, Aceh, Firdaus Yusuf berkontribusi sebelum dan selama liputan ini di kota Sigli, Aceh.

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU