> >

Mencerdaskan Perempuan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Advertorial | 23 Desember 2020, 19:59 WIB
Potret R.A Kartini (kiri) (Sumber: Dok. Wikimedia Commons)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Pendidikan layak bagi perempuan sudah semestinya menjadi prioritas dalam pembangunan strategis Indonesia mengingat perempuan merupakan pondasi bangsa.

Hal ini disampaikan Ulama Pejuang Advokasi Kesetaraan dan Keadilan Gender, KH. Husein Muhammad dalam webinar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 21 Desember 2020.

Sayang, cita-cita tersebut belum sejalan dengan realita. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, perempuan Indonesia memiliki tingkat melek huruf lebih rendah (94,33 persen) dibanding laki-laki (97,48 persen).

Rendahnya tingkat pendidikan perempuan terkait erat dengan tingginya kasus perkawinan anak perempuan. Dari 34 provinsi di Indonesia, lebih dari setengahnya memiliki angka perkawinan tinggi di atas rerata nasional.

“Banyak sekali kekerasan terjadi pada perempuan di mana-mana dan seluruh ruang kehidupan. Baik ruang domestik, ruang publik. Di tempat kerja, dan sebagainya. Kalau dikategorisasikan perempuan mengalai proses subordinasi, proses marjinalisasi, violence, dan multi burden (multi beban),” ujar Husein.

Menurutnya, bicara pendidikan lebih dari sekadar urusan administratif memasukkan perempuan ke sekolah, tetapi juga memastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi.

Pendidikan harus mampu membuat anak merasa aman berada di sekolah. Pendidikan yang setara harus bisa menjamin perempuan mendapatkan kesempatan sama dalam jenjang akademis dan karier di tengah kerasnya persaingan.

Ketika perempuan telah berdaya dan mampu mengambil keputusan hidup mereka sendiri, tujuan pendidikan bagi perempuan baru tercapai.

“Penyelesaian atas hal ini harus dilakukan melalui perubahan atas sistem, atas tradisi, atas budaya, bahkan cara pandang agama,” sambung Husein

Baca Juga: Perempuan Kepala Keluarga, antara Dukungan Moral dan Modal

Ia mengatakan, terdapat 3 kekuatan besar mengatur kehidupan manusia. Pertama adalah cara pandang negara atau undang-undang, kedua adalah cara pandang budaya atau tradisi, dan ketiga adalah cara pandang agama atau subordinat.

Kekuatan besar inilah yang perlu direkonstruksi agar perempuan dapat mengaktualisasi diri tanpa khawatir menjadi kambing hitam.

“Ada puisi yang menarik menurut saya:
‘Ibu adalah madrasah. Bila engkau mempersiapkannya dengan baik, berarti engkau telah mempersiapkan generasi yang mulia.
Ibu adalah taman. Bila engkau rajin menyiramnya, maka ia akan tumbuh subur dan lebat daunnya.
Ibu adalah guru. Guru terkemuka. Jasa-jasa besarnya akan menyelimuti seluruh cakrawala,’
” pungkas Husein.

Pendidikan perempuan dan belenggu perspektif gender

Sudah 30 tahun Sri Rossyati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian) berkontribusi mendirikan Sekolah Darurat Kartini. Didirikannya sekolah ini berawal dari keyakinan keduanya bisa membentuk kemandirian lewat pendidikan.

“Jika anak-anak dan ibunya mandiri, negara ini akan kuat. Masyarakatnya akan berjaya, karena itu kami tidak bosan-bosan,” ucap Rian kepada KompasTV.

Tidak hanya anak-anak, Rosi dan Rian juga mendidik ibu-ibu wali murid melalui berbagai keterampilan yang dapat menyambung hidup. Keduanya juga menanamkan pendidikan moral dan nilai-nilai Pancasila untuk memutus akar kriminalitas di dalam rumah.

“Setelah mereka lulus dan kerja, kita berikan modal kerja supaya mereka tidak menyuruh anaknya di jalan. Kalau bapak dan ibunya berjaya, mereka bisa memberi makan anak-anaknya,” sambung Rosi.

Baca Juga: Beban Ganda Tenaga Medis Perempuan di Tengah Pandemi

Di Jombang, Jawa Timur, Astatik Bestari juga turut serta memberantas buta aksara selama 12 tahun. Melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bestari, Astatik merangkul perempuan dan laki-laki di segala usia memperoleh pendidikan sama.

Astatik mengakui, jumlah perempuan buta aksara lebih banyak dibanding laki-laki sebelum akhirnya dituntaskan. Namun untuk masalah pendidikan tinggi, angka keikutsertaan masih lebih rendah.

“Yang saya tahu dari sumber-sumber peserta didik kami, mereka merasa sudah cukup untuk sekadar membaca dan berhitung saja. Pendidikan tinggi masih dianggap tidak penting dibanding bekerja, dan kami masih mengusahakan agar perempuan dapat melihat pendidikan sebagai sebuah kebutuhan,” ujar Astatik.

Masalah ini bersumber dari budaya patriarki di mana perempuan diletakan di bawah kekuasaan laki-laki. 

Setiap hari, perempuan menghadapi hambatan pendidikan tidak hanya disebabkan kemiskinan, tetapi juga praktik budaya, luputnya perhatian negara, serta cara pandang agama yang bergantung pada tafsir.

Jika perspektif salah tentang perempuan masih melekat di sendi kehidupan masyarakat, sambung Astatik, “perempuan secerdas dan sehebat apa pun masih dianggap tidak memiliki dampak signifikan di hadapan budaya patriarki.”

Oleh karena itu, partisipasi pendidikan tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan kerja sama seluruh pihak dan kehadiran laki-laki dalam ruang diskusi agar kebutuhan perempuan dapat dipahami dan, yang paling penting, dibutuhkan suara perempuan itu sendiri.

Penulis : Elva-Rini

Sumber : Kompas TV


TERBARU