Mencerdaskan Perempuan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Advertorial | 23 Desember 2020, 19:59 WIB“Ada puisi yang menarik menurut saya:
‘Ibu adalah madrasah. Bila engkau mempersiapkannya dengan baik, berarti engkau telah mempersiapkan generasi yang mulia.
Ibu adalah taman. Bila engkau rajin menyiramnya, maka ia akan tumbuh subur dan lebat daunnya.
Ibu adalah guru. Guru terkemuka. Jasa-jasa besarnya akan menyelimuti seluruh cakrawala,’” pungkas Husein.
Pendidikan perempuan dan belenggu perspektif gender
Sudah 30 tahun Sri Rossyati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian) berkontribusi mendirikan Sekolah Darurat Kartini. Didirikannya sekolah ini berawal dari keyakinan keduanya bisa membentuk kemandirian lewat pendidikan.
“Jika anak-anak dan ibunya mandiri, negara ini akan kuat. Masyarakatnya akan berjaya, karena itu kami tidak bosan-bosan,” ucap Rian kepada KompasTV.
Tidak hanya anak-anak, Rosi dan Rian juga mendidik ibu-ibu wali murid melalui berbagai keterampilan yang dapat menyambung hidup. Keduanya juga menanamkan pendidikan moral dan nilai-nilai Pancasila untuk memutus akar kriminalitas di dalam rumah.
“Setelah mereka lulus dan kerja, kita berikan modal kerja supaya mereka tidak menyuruh anaknya di jalan. Kalau bapak dan ibunya berjaya, mereka bisa memberi makan anak-anaknya,” sambung Rosi.
Baca Juga: Beban Ganda Tenaga Medis Perempuan di Tengah Pandemi
Di Jombang, Jawa Timur, Astatik Bestari juga turut serta memberantas buta aksara selama 12 tahun. Melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bestari, Astatik merangkul perempuan dan laki-laki di segala usia memperoleh pendidikan sama.
Astatik mengakui, jumlah perempuan buta aksara lebih banyak dibanding laki-laki sebelum akhirnya dituntaskan. Namun untuk masalah pendidikan tinggi, angka keikutsertaan masih lebih rendah.
“Yang saya tahu dari sumber-sumber peserta didik kami, mereka merasa sudah cukup untuk sekadar membaca dan berhitung saja. Pendidikan tinggi masih dianggap tidak penting dibanding bekerja, dan kami masih mengusahakan agar perempuan dapat melihat pendidikan sebagai sebuah kebutuhan,” ujar Astatik.
Masalah ini bersumber dari budaya patriarki di mana perempuan diletakan di bawah kekuasaan laki-laki.
Setiap hari, perempuan menghadapi hambatan pendidikan tidak hanya disebabkan kemiskinan, tetapi juga praktik budaya, luputnya perhatian negara, serta cara pandang agama yang bergantung pada tafsir.
Jika perspektif salah tentang perempuan masih melekat di sendi kehidupan masyarakat, sambung Astatik, “perempuan secerdas dan sehebat apa pun masih dianggap tidak memiliki dampak signifikan di hadapan budaya patriarki.”
Penulis : Elva-Rini
Sumber : Kompas TV