JAKARTA, KOMPAS.TV – Sebagai dasar dan ideologi negara, perumusan Pancasila merupakan bagian panjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Pada 76 tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, ketika sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dilangsungkan.
Setidaknya, ada 12 anggota yang berpidato mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka, termasuk M. Yamin dan Soepomo.
Usulan mengenai dasar negara akhirnya dipungkaskan oleh Sukarno, yang mendapat tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin sidang. Dalam sidang itu, Sukarno mengemukakan lima sila atau lima dasar yang merupakan konsep dasar negara Indonesia.
"Namanya bukan Panca Darma, tetapi—saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa—namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi," tutur Sukarno, dikutip dari Lahirnya Panca Sila: Bung Karno Menggembleng Dasar-Dasar Negara, Usaha Penerbitan Guntur, Yogyakarta, 1947, hal. 35.
Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “Panca” yang berarti lima, dan “Sila” yang berarti asas.
Pernyataan itulah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Baca Juga: Pentingnya membangkitkan pemahaman kolektif terhadap nilai-nilai Pancasila | TITIK PANDANG
Sejarah Hari Lahir Pancasila
Sebagai dasar dan ideologi negara, perumusan Pancasila merupakan bagian panjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Pada penghujung tahun 1944, bala tentara Dai Nippon Jepang semakin terdesak oleh pasukan sekutu akibat kekalahan di perang Asia Timur Raya.
Menyadari hal itu, pemerintah Jepang mengambil tindakan darurat sesegera mungkin terhadap wilayah-wilayah pendudukan Jepang, salah satunya Indonesia.
Pada 1 Maret 1945, Kumakichi Harada selaku Saiko Shikikan (panglima tertinggi pemerintah pendudukan militer Jepang) di Jawa mengumumkan akan dibentuk suatu badan baru dengan nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, atau yang dikenal dengan nama BPUPK, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan.
BPUPK diketuai oleh Doktor Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wediodiningrat, beranggotakan 69 orang. BPUPK menggelar sidang pertama pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 di gedung Chuo Sangi In, yang kini dikenal dengan nama Gedung Pancasila.
Sidang pertama membahas dasar negara Indonesia merdeka, hingga pada 1 Juni 1945, Sukarno berpidato mengenai dasar negara.
Sukarno menjelaskan dasar negara yang dinamakan Pancasila, yang berhasil menjawab pertanyaan ketua BPUPK, Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat.
Baca Juga: Peringati Hari Lahir Pancasila, BPIP Ajak Masyarakat Kibarkan Bendera Merah Putih
Pidato ini disambut tepuk tangan meriah dari para peserta sidang sebagai tanda persetujuan mereka.
Untuk mematangkan rumusan dasar negara tersebut, dibentuk sebuah panitia kecil bernama panitia sembilan yang terdiri dari, Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, A.A. Maramis, dan Muhammad Yamin.
Pada 22 Juni 1945, lahirlah rumusan dasar negara Republik Indonesia, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Setelah rumusan dasar negara disepakati, BPUPK melanjutkan pembahasan persiapan-persiapan kemerdekaan lain, termasuk merancang Undang-Undang Dasar.
Meski terdapat beberapa ragam pandangan anggota sidang, tugas BPUPK dituntaskan dengan cepat pada 7 Agustus 1945, kemudian dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada 18 Agustus 1945, Pancasila secara resmi menjadi dasar negara dengan disahkannya UUD NRI 1945.
Mohammad Hatta adalah orang yang memberikan tanggapan jelas mengenai perbedaan hari lahir dan hari pengesahan Pancasila di tengah wacana pemerintah era Orde Baru menggabungkan keduanya.
"Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 tapi disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan tanggal 18 Agustus 1945. Dalam hal pengesahan ini tidak bertentangan, tapi lahirnya ya lahirnya," kata Hatta dikutip dari Harian Kompas, 1 Juni 1977.
Namun yang tak kalah penting dari itu, Hatta juga mengingatkan, bahwa pengamalan Pancasila tidak boleh sebatas ucapan lisan belaka.
Sebab menurutnya, Pancasila baru bisa dialami dan dimaknai ketika pemerintah dan masyarakat negara Republik Indonesia sudah bisa menaati isi UUD NRI 1945.
Baca Juga: BPIP Ajak Masyarakat Tingkatkan Solidaritas Kemanusiaan Atasi Covid-19
Pancasila sebagai realitas kehidupan
Baru-baru ini, hal senada juga pernah dikemukakan Deputi Bidang Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Dr. Adji Samekto, M.Hum.
Menurutnya, Pancasila tidak bisa diperlakukan sebagai materi eksternal yang diinternalisasikan, seolah menghapus apa yang menjadi aspirasi. Maknanya perlu dihidupkan melalui nilai-nilai yang diimplementasikan ke dalam kebijakan publik.
Cara-cara yang bersifat ekstrem dan doktriner harus dihindari. Sebagai realitas kehidupan, Pancasila perlu diwujudkan dengan secara sederhana, rasional, tidak bersifat teoritik yang sifatnya menekan.
Oleh karena itu, Adji berharap pengenalan nilai-nilai Pancasila kepada calon-calon pemuda penerus bangsa tidak hanya dilakukan dengan cara teoritik, melainkan mengarah pada ilustrasi nilai-nilai Pancasila sebagai realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Bicara Pancasila bukan bicara di ranah kosong atau abu-abu namun di ranah konkret, mengutamakan contoh contoh riil, ranah nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai level dan tingkatan pendidikan,” ungkap Adji, dikutip dari pemberitaan KompasTV pada 15 Maret 2021.
Pancasila merupakan ideologi terbuka yang terus mengikuti perkembangan zaman. Membumikan Pancasila bisa dilakukan dengan membangun role model sesuai dengan karakter generasinya.
Dengan begitu, Pancasila tak lagi menjadi sekadar hafalan, melainkan wujud nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang di setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.