JAKARTA, KOMPAS.TV - Berasal dari keluarga cendekiawan, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro justru enggan disebutkan gelar di depan namanya.
“Karena nama itu sudah cukup berharga buat saya. Kalau melihat gelar, silakan lihat CV saya. Apa harapannya, supaya orang jangan mengejar gelar itu,” tuturnya.
Satryo mengatakan ketika menjabat sebagai Dirjen pernah mengirim surat satu persatu kepada para pejabat yang memakai gelar. Sebab, menurutnya hal tersebut tidak benar. Ia pun tidak masalah jika akhirnya ada pejabat yang tidak terima.
Sebelumnya gelar doktor yang diraih menteri energi dan sumber daya mineral Bahlil Lahadalia dari Universitas Indonesia (UI) menuai polemik, lantaran diraih dalam waktu 1 tahun 8 bulan dengan predikat cumlaude. Gelar tersebut memicu kritik dari dewan guru besar UI dan alumni, yang mendesak pembentukan tim investigasi.
Menanggapi hal itu, Satryo mengatakan akan menggunakan pendekatan social punishment.
“Dengan dia memberikan seperti itu, ya sorry to say orang maka lihat oh segitu aja kampusnya. Enggak se-berwibawa. Wibawanya akan jatuh,” pungkasnya.
Menanggapi mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga mahasiswa terlilit pinjaman online (pinjol), Satryo mengatakan sebetulnya sudah ada ketentuan terkait besaran UKT. Ada subsidi silang bagi yang mampu membayar lebih mahal, dan sebaliknya bagi yang tidak mampu akan membayar lebih kecil.
Satryo tidak setuju jika mahasiswa melakukan pinjol untuk membayar UKT. Ia mengatakan sebetulnya di tiap kampus ada skema untuk beasiswa. Selain itu, UKT harus dibuat berdasarkan kondisi kemampuan masyarakat setempat.
“Kalau anaknya enggak punya, mohon ke perguruan tinggi minta beasiswa atau minta bantuan. Setelah itu ajukan pada kami, negara akan bantu. Jadi daripada pakai pinjol, mendingan minta beasiswa,” ungkapnya.
Selengkapnya saksikan di kanal youtube KompasTV.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.